Di balik dinding putih rumah sakit dan gelar akademik yang tinggi, tersimpan realitas kelam yang kerap tak terungkap: relasi kekuasaan antara dokter spesialis senior dan yuniornya yang kerap disalahgunakan. Dalam sistem pendidikan kedokteran Indonesia yang sarat hierarki, dokter muda tak jarang menjadi korban kekerasan verbal, fisik, hingga pemerasan terselubung yang dibungkus dalam dalih “pendidikan karakter.” Alih-alih dibina dan dibimbing, mereka justru ditekan secara mental dan fisik oleh para senior yang seharusnya menjadi teladan moral. Fenomena ini bukan hanya mencederai semangat keilmuan, tetapi juga meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi dasar profesi medis.
1. Dokter Senior: Pilar Keilmuan atau Ancaman Etika?
Dalam dunia kedokteran, dokter spesialis senior memegang peran penting sebagai pembimbing dan teladan bagi para dokter muda atau residen. Mereka tidak hanya menjadi sumber ilmu, tetapi juga panutan dalam etika, empati, dan profesionalisme. Namun, realitas di lapangan kerap menunjukkan wajah yang berbeda: kekuasaan yang semestinya digunakan untuk membimbing malah menjadi alat penekan yang melanggengkan kekerasan simbolik maupun fisik.
2. Fenomena Kekerasan Struktural di Dunia Kedokteran
Budaya hierarki yang sangat kuat di dunia kedokteran menciptakan relasi kuasa yang timpang. Para residen sering kali menjadi objek kekerasan, baik secara:
-
Fisik: tamparan, dorongan, atau lemparan alat medis saat dianggap melakukan kesalahan.
-
Verbal: makian kasar, penghinaan intelektual, hingga ancaman tidak lulus.
-
Psikologis: tekanan mental yang terus-menerus, jam kerja ekstrem tanpa istirahat memadai, serta pengabaian ketika butuh bantuan medis atau emosional.
3. Kasus Kekerasan: Bukan Lagi Rahasia Umum
Beberapa kasus kekerasan oleh dokter spesialis senior terhadap yuniornya telah menjadi sorotan, meski banyak yang tidak pernah sampai ke meja hukum karena adanya kultur diam:
-
Kasus Tamparan di Ruang Operasi
Seorang residen bedah di salah satu RS pendidikan besar di Indonesia mengaku pernah ditampar dengan sarung tangan bedah karena dianggap lambat mengambil instrumen. Kejadian ini bahkan disaksikan perawat dan pasien yang belum sepenuhnya dibius. Namun, karena pelakunya adalah konsulen senior dengan pengaruh besar, korban memilih bungkam. -
Kasus Bunuh Diri Residen Anestesi (2019)
Seorang dokter muda dikabarkan mengakhiri hidupnya karena tekanan kerja ekstrem, shift panjang tanpa istirahat, dan perlakuan kasar dari beberapa konsulen. Catatan harian korban yang bocor ke media menunjukkan betapa parahnya tekanan mental yang ia alami. -
Bullying Sistemik dalam Pendidikan Kedokteran
Terdapat laporan dari sejumlah fakultas kedokteran yang menyebutkan bahwa bullying verbal seperti “Kamu bukan dokter, kamu cuma beban!” atau “Orang bodoh sepertimu tak pantas praktik!” sering kali dilontarkan dalam forum resmi oleh dokter senior. Bentuk kekerasan ini telah dianggap “wajar” sebagai bagian dari proses “pendewasaan”.
4. Kasus Terbaru: Kekerasan Fisik dan Pemerasan Finansial
Pada April 2025, Anggota Komisi IX DPR RI, Surya Utama (Uya Kuya), mengungkapkan kasus perundungan yang dialami oleh Wildan Ahmad Furqon, mantan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) ortopedi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Wildan mengalami kekerasan fisik seperti dipaksa berdiri dengan satu kaki selama tiga jam, push-up, jalan jongkok, merangkak, dan mengangkat kursi lipat selama satu jam. Selain itu, ia juga dipaksa membayar berbagai kebutuhan pribadi seniornya, termasuk servis mobil dan biaya hiburan malam, dengan total kerugian mencapai Rp. 500 juta selama tiga semester.
Kasus serupa terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM), di mana seorang peserta PPDS ortopedi bernama dr. Marcel mengalami kekerasan fisik seperti dilempari botol, dipukul, dan ditampar. Ia juga dipaksa menyiapkan kendaraan mewah lengkap dengan makanan untuk antar jemput para dokter spesialis.
5. Normalisasi Kekerasan sebagai Budaya Didik
Salah satu alasan kekerasan terus berlangsung adalah adanya pandangan bahwa dokter muda harus “ditempa” agar menjadi kuat dan tangguh. Namun pendekatan ini keliru dan berbahaya. Alih-alih menciptakan dokter yang kompeten dan empatik, budaya ini justru menanamkan luka psikologis mendalam dan menormalisasi kekerasan antargenerasi.
6. Implikasi Moral dan Etika Profesi
Perilaku kekerasan oleh dokter spesialis senior mencederai nilai-nilai luhur profesi kedokteran, yaitu:
-
Beneficence (berbuat baik): Kekerasan melawan prinsip utama ini.
-
Non-maleficence (tidak menyakiti): Mencederai secara fisik maupun psikis sudah jelas melanggar prinsip ini.
-
Respect for persons: Setiap individu, termasuk dokter muda, berhak dihargai sebagai manusia.
Jika dokter senior tidak mampu menjunjung nilai-nilai tersebut, maka sistem pendidikan kedokteran telah gagal membentuk profesional sejati.
7. Upaya Solusi dan Harapan
Beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk mengakhiri budaya kekerasan ini:
-
Reformasi kurikulum pendidikan kedokteran yang mengutamakan pendekatan humanis dan empatik.
-
Whistleblower protection bagi residen atau dokter muda yang melaporkan kekerasan.
-
Pembentukan komite etik internal yang independen dan tegas menangani kasus kekerasan.
-
Pelatihan soft skills dan etika untuk dokter senior agar mereka memahami batasan dalam membina yunior.
Peran Universitas Terkait Kasus Perpeloncoan dokter yunior
Universitas memiliki peran sentral dan tak tergantikan dalam membentuk iklim pendidikan yang sehat, etis, dan berkeadilan, terutama dalam pendidikan profesi seperti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Namun, dalam kasus-kasus kekerasan fisik, mental, dan finansial yang dialami oleh dokter yunior, termasuk kasus terbaru yang menimpa Wildan Ahmad Furqon, banyak pihak mempertanyakan sejauh mana universitas menjalankan fungsi pengawasan dan perlindungan terhadap peserta didiknya.
Pertama, universitas bertanggung jawab secara moral dan struktural untuk menciptakan sistem pembelajaran yang bebas dari kekerasan. Hal ini mencakup penyusunan kurikulum yang tidak hanya menekankan kompetensi klinis, tetapi juga pendidikan karakter, etika profesi, serta pengawasan intensif terhadap praktik-praktik di rumah sakit pendidikan. Ketika kekerasan dan perundungan terjadi secara sistemik dan bertahun-tahun, hal ini menandakan kegagalan institusi dalam membangun sistem pelaporan yang aman, responsif, dan bebas dari intimidasi.
Kedua, mekanisme penanganan laporan kekerasan di banyak fakultas kedokteran cenderung lemah dan tidak transparan. Banyak korban takut melapor karena ancaman balasan atau stigmatisasi. Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku justru dilindungi oleh jaringan senioritas yang kuat, sementara korban dianggap mencemarkan nama baik institusi. Universitas sering kali memilih bungkam atau memberi sanksi administratif ringan yang tidak mencerminkan beratnya pelanggaran etik yang terjadi.
Ketiga, universitas seharusnya menjadi pihak pertama yang aktif dalam reformasi budaya akademik, bukan sekadar reaktif saat kasus muncul di media atau mendapat tekanan publik. Mereka perlu meninjau ulang struktur relasi antara residen dan dokter pengampu, mengevaluasi kinerja dosen klinis, serta membuka ruang dialog kritis antara mahasiswa, alumni, dan tenaga pendidik.
Oleh karena itu, dalam kasus seperti yang terjadi di RSHS Bandung dan beberapa rumah sakit pendidikan lainnya, universitas tak bisa hanya berdiri di pinggir sebagai penonton. Mereka harus bertindak sebagai pelindung integritas profesi dan hak peserta didik. Gagalnya mereka melakukan hal ini sama saja dengan membiarkan kekerasan menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan dokter—sebuah ironi besar di tengah janji luhur profesi medis untuk “tidak menyakiti”.
Penutup: Bukan Sekadar Ilmu, Tapi Juga Moral
Seorang dokter bukan hanya orang yang tahu bagaimana menyelamatkan nyawa, tetapi juga bagaimana memperlakukan manusia lain dengan hormat dan kasih. Ketika dokter spesialis senior menggunakan kekuasaan untuk menyakiti, mereka telah mengkhianati sumpah profesi mereka sendiri. Perubahan tidak hanya soal struktur, tapi soal hati nurani yang harus bangkit kembali.