“Jangan Marah, Bagimu Surga” Dalam tumpukan hadis Rasulullah SAW, ada satu nasihat yang sangat pendek, namun begitu dalam maknanya. Seorang sahabat datang kepada Rasulullah dan meminta nasihat. Nabi menjawab:
“Laa taghdhob.”
(Jangan marah.)
Sahabat itu mengulang permintaannya beberapa kali, namun jawaban Nabi tetap sama:
“Laa taghdhob.”
(Jangan marah.)
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya, dan menjadi pegangan penting dalam ilmu tasawuf, akhlak, dan pendidikan jiwa dalam Islam.
1. Mengapa Marah Ditekankan dalam Hadis Ini?
Karena dari marah, berbagai keburukan bisa lahir. Marah yang tak terkendali bisa melahirkan:
-
Ucapan kasar
-
Tindakan kekerasan
-
Kerusakan hubungan
-
Penyesalan berkepanjangan
Rasulullah SAW tidak menjawab dengan nasihat tentang shalat, puasa, atau zakat dalam momen itu. Mengapa? Karena bisa jadi sang sahabat sudah melakukannya. Tetapi pengendalian diri—terutama dari marah—adalah ujian sejati dari akhlak dan kedalaman iman.
2. Makna Tersembunyi di Balik Nasihat Pendek Ini
Dalam Islam, sabar bukan berarti pasif. Sabar, termasuk dalam menahan marah, adalah bentuk keaktifan jiwa dalam menghadapi tantangan. Menahan amarah bukan berarti membiarkan diri ditindas, melainkan menjaga diri agar tidak dikuasai oleh nafsu sesaat.
Menahan marah adalah:
-
Latihan spiritual: Melatih hati agar tidak tunduk pada emosi liar.
-
Bentuk kasih sayang: Menyelamatkan hubungan dan menghindari perpecahan.
-
Jalan menuju surga: Karena Allah menjanjikan pahala besar bagi yang mampu menahan marah.
3. Bagimu Surga: Buah Manis dari Menahan Marah
Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda:
“Barang siapa menahan amarahnya, padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan makhluk-Nya pada hari kiamat dan mempersilahkannya memilih bidadari yang ia kehendaki.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
Allah mencintai hamba-Nya yang mampu menahan diri, dan memberikan hadiah surga sebagai balasan. Bukan hanya dalam bentuk kenikmatan akhirat, tetapi juga ketenangan jiwa di dunia.
4. Kisah Nyata: Rasulullah dan Marah yang Tak Pernah Dilampiaskan
Salah satu teladan agung adalah bagaimana Nabi Muhammad SAW tidak pernah melampiaskan amarahnya untuk kepentingan pribadi. Dalam berbagai peristiwa, bahkan saat dihina, diludahi, atau dilempari, beliau tetap membalas dengan sabar dan doa.
Ketika penduduk Thaif melemparinya dengan batu hingga berdarah, malaikat penjaga gunung datang dan menawarkan untuk membinasakan mereka. Tapi apa kata Rasulullah?
“Jangan. Aku berharap, dari keturunan mereka akan lahir orang-orang yang menyembah Allah semata.”
Inilah derajat tertinggi dari “jangan marah”: bukan sekadar menahan diri, tapi mendoakan kebaikan bagi yang menyakiti.
baca juga : Sikap dan Perilaku Sombong
Jangan Marah, Bagimu Surga
Nasihat “Jangan marah” bukan berarti kita menjadi tanpa emosi. Tapi Islam mengajarkan kita untuk mengelola emosi dengan bijak, agar tidak dikendalikan oleh nafsu dan setan.
Dengan menahan marah:
-
Kita menjaga hubungan sosial
-
Kita melindungi diri dari penyesalan
-
Kita mendekat kepada surga yang dijanjikan
Di dunia yang serba cepat dan penuh tekanan ini, mengamalkan satu hadis ini saja bisa menjadi revolusi spiritual dalam diri. Maka, saat amarah datang menghampiri, ingatlah:
“Jangan marah, bagimu surga.”
Lantas, bagaimana Islam mengajarkan kita untuk meredakan marah?
1. Mengucapkan Ta’awudz: Memohon Perlindungan dari Setan
Saat marah, seorang Muslim dianjurkan untuk membaca:
“A’udzu billahi minasy-syaithanir-rajim”
(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya marah itu berasal dari setan, dan setan diciptakan dari api. Sesungguhnya api hanya dapat dipadamkan dengan air. Maka apabila salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia berwudhu.”
(HR. Abu Dawud)
2. Mengubah Posisi: Berdiri, Duduk, atau Berbaring
Nabi Muhammad SAW memberikan panduan praktis:
“Jika salah seorang dari antara kalian marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah. Jika marah belum juga hilang, maka berbaringlah.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Perubahan posisi tubuh bertujuan meredam ketegangan fisik dan psikologis. Ketika tubuh lebih rileks, emosi pun akan lebih mudah dikendalikan.
3. Diam: Menahan Lisan dari Ucapan yang Menyakiti
Saat marah, seseorang cenderung mengeluarkan kata-kata kasar atau menyakitkan. Maka dari itu, Rasulullah bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia diam.”
(HR. Ahmad)
Diam bukan berarti kalah, tetapi bentuk pengendalian diri yang mulia di hadapan Allah.
4. Segera Berwudhu
Seperti disebutkan sebelumnya, setan berasal dari api dan api dipadamkan dengan air. Berwudhu memiliki efek menenangkan jiwa dan menyejukkan raga. Selain itu, wudhu juga menjadi sarana spiritual untuk kembali mendekat kepada Allah.
5. Shalat atau Berdzikir
Jika amarah belum juga surut, ambillah waktu untuk menenangkan diri dengan shalat atau berdzikir. Allah SWT berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(QS. Ali ‘Imran: 134)
Shalat membuat hati terhubung langsung dengan Allah. Dzikir mengingatkan kita bahwa dunia ini fana, dan mengedepankan sabar adalah bentuk kekuatan yang hakiki.
6. Mengingat Balasan bagi yang Menahan Amarah
Sabda Rasulullah :
“Barang siapa yang menahan amarah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat dan memberinya pilihan untuk memilih bidadari mana yang ia inginkan.”
(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Balasan dari Allah bagi yang mampu mengendalikan marah sangatlah besar. Ini menjadi motivasi spiritual untuk menahan diri dan tidak membiarkan amarah menguasai hati.
7. Memaafkan dan Berlapang Dada
Salah satu cara terbaik meredakan marah adalah dengan memaafkan. Ini bukan tanda kelemahan, tetapi justru kekuatan luar biasa. Rasulullah dalam banyak kisah hidupnya, menunjukkan sikap pemaaf bahkan kepada mereka yang telah menyakitinya.
Allah SWT berfirman:
“Dan balasan kejahatan adalah kejahatan yang serupa, tetapi barang siapa memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.”
(QS. Asy-Syura: 40)
8. Mengelola Emosi dengan Ilmu
Islam sangat menekankan pentingnya ilmu dalam mengatur hidup, termasuk dalam hal mengendalikan emosi. Pelajari kisah-kisah Nabi, para sahabat, dan ulama yang mampu menahan marah dalam situasi sulit. Pengetahuan ini menjadi bekal mental dan spiritual dalam menghadapi amarah di kehidupan sehari-hari.
Penutup
Marah adalah fitrah manusia, namun mengendalikannya adalah ciri orang yang beriman. Islam tidak mengajarkan kita menjadi robot tanpa emosi, tetapi membimbing kita untuk menjadi pribadi yang kuat dengan pengendalian diri yang tinggi.
Dalam setiap ajaran yang sederhana – membaca ta’awudz, diam, duduk, berwudhu, hingga memaafkan – tersimpan kebijaksanaan ilahi yang membimbing hati menuju ketenangan dan ridha Allah.
Sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Bukanlah orang yang kuat itu yang jago bergulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)