Petani Tembakau Bojonegoro: Lahan Hijau, Jerih Payah yang Gagal Terbayar

Petani Tembakau Bojonegoro

Bojonegoro, yang selama ini dikenal sebagai salah satu produsen tembakau utama di Jawa Timur, kembali dirundung nestapa. Di musim tanam 2025 ini, lebih dari 500 hektare lahan tembakau mengalami gagal panen. Bukan semata karena cuaca ekstrem, tapi karena perubahan iklim yang tak lagi bisa diprediksi dan ketidaksiapan sistem pertanian dalam meresponsnya. Melansir berita dari situs fokustempo berikut ini ulasan terkait.

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

  • Pada bulan April-Mei 2025, Bojonegoro mengalami hujan deras secara berkala, meski secara kalender sudah memasuki musim kemarau.

  • Kadar air di tanah meningkat drastis, menyebabkan over-moisture yang membuat daun tembakau mudah busuk dan terkena jamur (blue mold).

  • Banyak petani terpaksa memanen dini untuk menghindari kerugian total, namun kualitas tembakau sangat menurun dan tidak diterima pengepul.

Dikutip dari situs web Fokus Tempo bahwa ‘Menurut data dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian setempat, hujan yang terus turun di pertengahan musim kemarau adalah penyebab utama dari kegagalan panen tersebut.’

Mengapa Ini Berulang?

  • Pola tanam tembakau di Bojonegoro masih berbasis pengalaman lokal, bukan teknologi adaptif berbasis data cuaca dan kelembapan.

  • Tidak ada sistem peringatan dini iklim mikro di desa-desa penghasil tembakau.

  • Tidak ada lembaga perlindungan usaha tani tembakau yang aktif memberikan edukasi atau perlindungan risiko.

Tembakau: Komoditas Kaya, Petani Tetap Miskin

Sungguh paradoks. Industri rokok nasional menghasilkan lebih dari Rp200 triliun dalam bentuk cukai setiap tahun. Tapi bagaimana petani sebagai produsen bahan baku utama tetap terjebak dalam jerat kerugian?

Struktur Ketimpangan:

  • Petani menjual tembakau dalam bentuk bahan mentah ke tengkulak atau pabrikan dengan harga yang tak bisa mereka tentukan sendiri.

  • Harga tembakau kualitas rendah akibat cuaca tahun ini anjlok dari Rp40.000/kg menjadi Rp15.000–20.000/kg (bahkan ada yang ditolak).

  • Padahal, biaya tanam per hektare bisa mencapai Rp20–25 juta, terutama untuk pembelian bibit, pupuk, sewa traktor, dan tenaga kerja.

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT):

Menurut data Pemprov Jatim, Bojonegoro mendapatkan lebih dari Rp70 miliar DBHCHT tahun 2024. Namun:

  • Lebih dari 60% digunakan untuk kegiatan non-pertanian seperti promosi kesehatan dan operasional dinas.

  • Hanya sebagian kecil yang masuk ke program subsidi benih dan pelatihan pertanian tembakau, dan itu pun minim evaluasi dampaknya.

Dampak Sosial: Ketika Bertani Tak Lagi Menjanjikan

Gagal panen ini tidak hanya membuat petani rugi secara finansial, tapi juga mengikis kepercayaan generasi muda terhadap sektor pertanian.

Kisah Nyata:

  • Rizky, 24 tahun, lulusan pertanian dari Universitas Negeri di Malang, sempat pulang kampung dan membuka lahan tembakau seluas 0,7 hektare bersama ayahnya.
    Namun, tahun ini seluruh tanamannya gagal panen. Ia memutuskan kembali merantau ke Surabaya untuk bekerja di gudang.

Efek domino yang dikhawatirkan:

  • Banyak petani menunda tanam musim berikutnya karena trauma gagal panen.

  • Maraknya praktik gadai lahan dan jual murah karena butuh uang untuk menyambung hidup.

  • Potensi konversi lahan tembakau ke lahan non-produktif atau dijual ke investor luar desa.

Solusi Bukan Sekadar Bantuan Bibit: Harus Ada Reformasi Sistemik

Dalam menghadapi krisis tembakau seperti ini, respons jangka pendek berupa bantuan benih, pupuk, atau sembako tidak akan menyelesaikan masalah. Yang dibutuhkan adalah:

Strategi Jangka Menengah-Panjang:

  1. Perluasan Skema Asuransi Pertanian Khusus Tembakau, berbasis parameter iklim lokal.

  2. Reformulasi DBHCHT, dengan minimal 30% dana wajib disalurkan langsung untuk:

    • Subsidi harga jual tembakau saat panen buruk.

    • Dana mitigasi gagal panen.

    • Pendampingan teknologi pertanian adaptif cuaca.

  3. Digitalisasi Prediksi Tanam, melalui kemitraan dengan BMKG dan startup agritech lokal.

  4. Koperasi Petani Tembakau Modern, yang dikelola secara transparan dan bebas tengkulak.

Pendekatan Lokal:

  • Melibatkan tokoh adat dan petani senior sebagai fasilitator lapangan untuk menyebarkan informasi cuaca, masa tanam ideal, dan cara pengeringan alternatif.

  • Membangun rumah pengering tembakau dengan teknologi pengatur suhu (curing house), bukan lagi hanya bergantung pada sinar matahari.

Penutup: Menyelamatkan Tembakau, Menyelamatkan Warisan

Petani tembakau Bojonegoro bukan sekadar produsen bahan baku rokok. Mereka adalah penjaga warisan agraris, pejuang ekonomi lokal, dan simbol ketahanan budaya. Gagal panen tahun ini harus menjadi alarm keras bahwa sistem pertanian kita masih sangat rentan.

Jika negara tidak segera hadir dengan perlindungan yang sistemik, maka bukan tidak mungkin lahan-lahan tembakau yang dulunya hijau itu akan berubah menjadi ladang-ladang mati. Dan tembakau, yang dulu menjadi sumber hidup, akan tinggal sebagai cerita sedih di buku pelajaran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses