Melacak Jejak Pelanggaran Penetapan UKT dan IPI di Universitas Indonesia

Universitas Indonesia

Universitas Indonesia (UI), sebagai salah satu perguruan tinggi negeri paling prestisius di tanah air, kembali menjadi sorotan. Bukan karena prestasi akademik, melainkan karena dugaan pelanggaran dalam penetapan dan pemungutan Uang Kuliah Tunggal (UKT) serta Iuran Pengembangan Institusi (IPI). Banyak artikel menyorot kasus ini dari sisi hukum administratif atau dampaknya terhadap mahasiswa. Melansir berita dari situs mediapos berikut ini ulasan terkait.

Kali ini kita membahasnya dari sudut pandang yang lebih dalam: bagaimana birokrasi pendidikan tinggi telah kehilangan nilai moral dan sosialnya ketika kampus beroperasi seperti korporasi, bukan sebagai institusi pembentuk masa depan bangsa.

1. Kampus Negeri, Tapi Pola Komersial: Ketika Mahasiswa Dianggap Konsumen

Di permukaan, UI adalah lembaga pendidikan yang dibiayai negara. Namun dalam praktiknya, UI telah menjalankan pola pikir korporatis, di mana mahasiswa bukan lagi dianggap anak bangsa yang sedang menempuh pendidikan, melainkan konsumen yang wajib membayar sesuai dengan “nilai pasar”. Penetapan IPI tanpa dasar hukum yang kuat, dan UKT yang tak jarang melampaui kemampuan ekonomi keluarga mahasiswa, mengindikasikan adanya paradigma baru: kampus sebagai mesin pendapatan, bukan lembaga pengabdian.

2. Melabrak Regulasi Sendiri: Sebuah Ironi Institusi Pendidikan

Sesuai Peraturan Mendikbud Nomor 25 Tahun 2020, penetapan UKT harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi orang tua/wali dan tidak boleh berubah tanpa alasan yang sah. Namun, UI dilaporkan telah menetapkan skema UKT tanpa transparansi proses verifikasi. Bahkan, IPI—yang semestinya tidak boleh dikenakan di PTN BH dalam jalur reguler—dipungut dari mahasiswa baru, yang jelas bertentangan dengan peraturan tersebut.

Ironinya, para akademisi yang sehari-hari berbicara soal etika, hukum, dan keadilan di ruang kuliah, membiarkan institusinya sendiri melabrak asas-asas yang mereka ajarkan. UI sedang menguji batas toleransi masyarakat terhadap hipokrisi institusional. Dikutip dari situs web Media Pos bahwa ‘Rektor UI diduga tidak melakukan konsultasi yang diwajibkan dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan’

3. “Keadilan Sosial” Sekadar Frasa di Spanduk Wisuda

Kampus sering mengumandangkan “keadilan sosial” sebagai bagian dari nilai luhur. Tapi ketika seorang calon mahasiswa dari keluarga buruh atau petani dikenakan UKT jutaan rupiah tanpa ruang banding yang adil, narasi itu runtuh. IPI sebesar puluhan juta rupiah dijustifikasi sebagai “pengembangan institusi”, padahal faktanya lebih banyak menekan mahasiswa dari kelompok ekonomi bawah untuk mundur secara diam-diam dari proses pendidikan.

UI tidak hanya melanggar hukum administratif. Ia sedang merobek kontrak moralnya dengan rakyat Indonesia.

4. Narasi Meritokrasi yang Cacat: Ketika Uang Lebih Berkuasa dari Otak

Dalam sistem meritokrasi, siapa pun yang cerdas dan berprestasi harusnya bisa menembus batas sosial ekonomi untuk meraih pendidikan terbaik. Namun pelanggaran penetapan UKT dan IPI di UI justru memperlihatkan bahwa akses terhadap kampus terbaik kini bergantung pada rekening bank, bukan pada prestasi atau intelektualitas. Apakah UI masih layak menyebut dirinya sebagai kampus rakyat jika biaya masuknya menyingkirkan mereka yang justru paling layak mendapat kesempatan?

5. Skema “Legal Tapi Tidak Adil”: Ketika Akal-akalan Dilegalkan

Pihak kampus seringkali berdalih bahwa kebijakan tersebut telah melalui “payung hukum” internal, seperti Peraturan Rektor. Tapi ini adalah contoh sempurna dari apa yang disebut filsuf Prancis Jacques Derrida sebagai “keadilan prosedural tanpa keadilan substantif”. Artinya, prosedur bisa dilalui dengan benar secara administratif, tapi hasil akhirnya tetap menyakitkan dan tidak adil bagi masyarakat.

6. Di Mana Negara Saat Ini Terjadi?

Pemerintah melalui Kemendikbud seolah lamban dalam merespons gejolak ini. Padahal, jika dibiarkan, praktik ini bisa menular ke PTN lain. UI sebagai role model bisa jadi batu loncatan menuju komersialisasi pendidikan tinggi nasional secara sistemik dan masif. Negara harus hadir bukan hanya sebagai regulator, tapi juga pelindung keadilan sosial dalam akses pendidikan.

7. Solusi Bukan Sekadar Audit: Tapi Reformasi Tata Kelola Kampus

Solusi terhadap kasus UI bukan hanya soal pengembalian dana atau revisi peraturan rektor. Perlu dilakukan reformasi total dalam tata kelola PTN BH, termasuk kejelasan batas antara otonomi akademik dan otonomi keuangan. Mahasiswa harus dilibatkan dalam pengawasan keuangan kampus. Transparansi dan akuntabilitas tak boleh jadi jargon kosong. Kalau UI ingin tetap menjadi kampus yang membanggakan bangsa, maka ia harus berani mereformasi dirinya dari dalam.

Penutup: Pendidikan Bukan Komoditas, tapi Warisan Peradaban

Apa yang terjadi di UI bukan sekadar soal uang. Ini tentang bagaimana nilai-nilai yang dibangun ratusan tahun dalam dunia pendidikan—keadilan, keterbukaan akses, dan pengabdian kepada masyarakat—diancam oleh ambisi ekonomi yang tak terkendali. Saat universitas berubah menjadi entitas bisnis, maka yang diperdagangkan bukan hanya jasa pendidikan, tapi juga masa depan anak-anak bangsa.

Semoga UI dan PTN lain segera sadar: bahwa pendidikan tinggi adalah pilar peradaban, bukan peluang bisnis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses