Nada-Nada yang Tak Terucap

Bab 1: Lima Pagi di Solo

Bayu mematikan jam wakernya sebelum sempat berbunyi. Sudah jadi kebiasaan, tubuhnya seolah punya jam sendiri yang selalu membangunkannya di waktu yang sama—pukul 04.00 pagi. Di luar jendela, langit Solo masih bergelayut dalam gelap, hanya ditemani suara jangkrik dan samar-samar kendaraan yang mulai bergerak di kejauhan.

“Bayu, sarapanmu sudah Ibu siapkan ya. Jangan lupa jaketnya, udaranya dingin,” terdengar suara ibunya dari dapur.

Bayu tersenyum kecil. Di usia 21 tahun, masih tinggal bersama orang tua memang membuatnya sering merasa seperti anak kecil. Tapi di balik itu, ia tahu betul, ibunya adalah satu-satunya alasan ia bisa menjalani hari-hari padat dengan tetap waras—kuliah, tugas, dan tentu saja, siaran radio yang jadi hidupnya.

Ia bersiap cepat. Memakai jaket denim yang mulai pudar warnanya, merapikan rambut, lalu mengangkat helm. Motor tuanya, Astrea Grand tahun 1996, sudah menunggu di halaman.

Radio FM tempat ia bekerja tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya sekitar 15 menit jika jalanan sepi. Tapi Bayu selalu berangkat lebih awal. Ada satu alasan: Yuli.

Yuli, partner siarannya sejak satu tahun terakhir, adalah perempuan yang… ah, Bayu bahkan tak punya kata yang cukup untuk menggambarkannya. Ramah, lucu, penuh semangat, dan punya suara yang bisa menyembuhkan luka paling dalam. Setidaknya, itu yang sering dikatakan pendengar mereka—dan diam-diam, Bayu mengakuinya juga.

Setiap pukul 05.00 pagi, mereka membuka hari Solo di acara Morning Show dengan sapaan hangat dan playlist lagu-lagu yang sudah dikurasi semalaman. Tapi bukan hanya lagu yang mereka bagi—melainkan juga cerita, tawa, kadang curahan hati dari pendengar dalam segmen Memory Song. Dan di setiap kalimat yang Yuli bacakan, Bayu selalu mendengar lebih dari sekadar kata.


Studio 93.3 FM

“Selamat pagi, Kawula Muda! Masih di Morning Show bersama saya.. Bayu dan—”

“Yuli, yang siap nemenin kamu sampai matahari benar-benar bangun,” sambung Yuli dengan nada ceria.

Bayu meliriknya sebentar. Yuli mengenakan hoodie kuning pastel dan jeans hitam. Rambutnya dikuncir seadanya, tapi justru itu yang membuatnya terlihat… cantik.

Mereka sudah hafal ritme satu sama lain. Tak perlu aba-aba, mereka tahu kapan harus saling menyela, kapan harus diam, kapan tertawa bersama. Kekompakan mereka bukan sekadar profesional—ada sesuatu yang lebih dalam, tapi belum pernah diucapkan.

Dan setiap selesai siaran pagi, mereka akan kembali bertemu lagi setelah kuliah untuk merekam acara Memory Song. Duduk berdua di ruang rekaman kecil, membaca surat-surat cinta, kehilangan, dan harapan dari para pendengar.

Lucunya, Bayu sering merasa surat-surat itu seperti cermin perasaannya sendiri. Terutama ketika membaca surat tentang cinta yang tak tersampaikan.


Sore Hari di Ruang Rekaman

“Bay, coba kamu baca yang ini deh. Dari pendengar namanya ‘Larasati’.”

Bayu membuka kertas itu, membaca isinya pelan.

‘Dia ada di dekatku setiap hari. Suaranya sudah menjadi bagian dari pagiku. Tapi aku hanya bisa menatapnya diam-diam. Takut, kalau rasa ini merusak apa yang sudah kami miliki sekarang.’

Bayu terdiam sejenak.

Yuli menatapnya, diam juga. Lalu dengan suara lembut, ia berkata, “Lucu ya… kadang yang kita takutkan itu justru yang bisa bikin kita lebih dekat.”

Bayu mengangguk pelan. Dalam hati, ia ingin menjawab: “Aku takut karena yang kutakuti itu… kamu.”

Tapi yang keluar hanyalah, “Iya, lucu…”

.oOo.

Bersambung..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses