Hujan yang Terlalu Cepat Reda

Sore itu, langit tampak malu-malu menahan hujan. Awan menggantung seperti menyimpan rahasia, dan udara membawa aroma tanah yang basah sebelum hujan benar-benar datang. Di sebuah desa kecil yang tak banyak berubah sejak bertahun-tahun, Samsudin baru saja selesai mandi. Rambutnya masih basah, dan di wajahnya tergurat ragu yang tidak biasa.

Jam menunjukkan pukul tiga lebih sedikit. Ia berdiri di depan motornya, sebuah sepeda motor tua yang catnya mulai pudar, lalu menarik napas panjang. Entah mengapa, sore itu hatinya begitu resah. Ada sesuatu yang mendorongnya keluar rumah. Bukan sesuatu—seseorang.

Lia..

Gadis manis berkacamata yang satu sekolah dengannya. Kelas dua, seperti dia, hanya saja beda ruang, beda dunia. Lia adalah gadis yang tenang, luwes namun selalu tampak teduh seperti langit sebelum hujan. Samsudin, dengan segala ketidaksempurnaannya, hanya bisa menatap dari jauh, menaruh perasaan dalam diam, dan hanya mampu menulis namanya di sudut-sudut buku catatan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun.

baca juga : Payung Biru di Warung Kopi

Tanpa arah pasti, Samsudin menyalakan motornya. Mesin tuanya berderak-derak, seperti ragu mengikuti niat pemiliknya. Ia mengayuh gas perlahan, melintasi jalan desa yang ia kenal luar kepala. Tapi hatinya—tak ia mengerti ke mana tujuannya. Yang ia tahu hanya satu: ia ingin bertemu Lia sore itu.

Dan seakan dunia mengerti isi hatinya, roda-roda motornya membawanya ke sebuah jalan yang sangat ia kenal, jalan di mana rumah Lia berada. Ia tak berniat berhenti, hanya ingin lewat—sekedar melihat pagar rumahnya, atau mungkin berharap jendela kamarnya terbuka.

Namun takdir bekerja dengan cara yang lembut dan mengejutkan.

Tepat ketika motornya melambat di depan rumah itu, pintu pagar terbuka. Dan dari dalamnya muncul Lia, mendorong motor bebeknya. Rambutnya yang panjang dikuncir seadanya, wajahnya sedikit panik, seperti dikejar waktu—atau mungkin dikejar hujan yang sebentar lagi jatuh.

Samsudin hampir saja menginjak rem terlalu keras. Jantungnya mendadak berdetak tak karuan.

Lia menoleh dan tersenyum kecil ketika melihat Samsudin. “Eh, Sam, mau ke mana?” tanyanya.

Samsudin gugup. “E—eh, aku? Cuma… muter-muter aja, hehehe.”

Lia mengangguk. “Aku mau ke warung, keburu hujan.”

Dan entah kenapa, langkah mereka menjadi sejajar. Motor mereka melaju pelan, beriringan tanpa rencana. Samsudin tidak tahu harus berkata apa. Tapi hatinya penuh. Begitu penuh.

Lalu hujan turun. Tepat waktu. Butir-butirnya besar dan mendadak, seperti perasaan yang tak pernah diungkap lalu jatuh begitu saja.

Mereka segera mencari tempat berteduh dan menemukan sebuah pos ronda tua di dekat perempatan. Pos itu sudah tak terurus, tapi cukup untuk melindungi dua remaja dari hujan sore.

Di bawah atap seng yang menari bersama bunyi hujan, mereka duduk berdampingan. Jarak mereka hanya beberapa jengkal, tapi buat Samsudin, terasa seperti satu dunia yang akhirnya bisa ia pijak.

“Aku suka hujan,” kata Lia tiba-tiba.

Samsudin menoleh. “Kenapa?”

“Entah. Rasanya tenang. Semua orang jadi melambat. Dunia jadi diam sebentar.”

Samsudin mengangguk. Ia ingin mengatakan sesuatu—apa saja. Mungkin tentang betapa ia berharap hujan ini tak pernah reda. Bahwa di bawah atap reyot ini, ia ingin dunia berhenti berputar. Tapi lidahnya kelu. Hatinya terlalu penuh, seperti langit di atas mereka yang tak lagi mampu menahan awan.

Namun hujan, seperti biasa, tak pernah mau menunggu. Ia berhenti secepat datangnya. Tetes terakhir jatuh, dan dunia kembali bergerak.

Lia tersenyum kecil. “Yah, hujannya sebentar ya.”

Samsudin ingin berkata: “Andai bisa kuperpanjang.”

Tapi yang keluar hanya gumaman. “Iya…”

Mereka kembali ke motor masing-masing. Lia memberi lambaian kecil sebelum memutar arah. Samsudin hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menjauh.

Hari itu, mereka berpisah seperti hujan yang reda terlalu cepat. Tapi bagi Samsudin, itu bukan sekadar sore yang basah oleh air langit. Itu adalah sore yang membasahi hatinya yang selama ini kering oleh keberanian yang tak pernah tumbuh.

Dan kenangan itu, tetap ia simpan. Tak peduli betapa singkatnya. Karena bagi seorang pemalu seperti Samsudin, terkadang satu momen saja sudah cukup untuk hidup selamanya dalam kenangan.

****

inspired by a true story..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses