BERCERMIN DARI KASUS AFI DAN YAHYA

kasus afi

Ada seorang anak SMA, namanya AFI, yang terlanjur terkenal karena tulisannya meski itu adalah hasil menjplak tulisan hasil karya orang lain. Karena usianya yang masih remaja, mungkin dia tidak mengerti apa itu plagiarisme.

Kasus seperti ini bukan yang pertama kali. Dulu juga pernah ada seorang anak SMP, Yahya Harlan, yang mengklaim dirinya membuat sebuah program media sosial, yang diberi nama ‘Salingsapa’. Belakangan diketahui bahwa dia

bukan membuat program tapi sekadar menggunakan engine/CMS JCow yang merupakan engine/CMS yang difungsikan untuk membuat jejaring sosial. Jangankan anak SMP, anak TK pun juga bisa kalau sekadar menggunakan CMS JCows tsb.

Tapi yang jelas keduanya baik AFI maupun Yahya, berhasil menjadi anak terpopuler dan bahkan memperoleh berbagai penghargaan.

Terkait fenomena ini, apa yang bisa dipetik hikmahnya?

Keberadaan kasus AFI dan YAHYA yang sempat menggegerkan dunia maya tersebut sebagai gambaran bahwa masyarakat kita ini masih mudah sekali percaya dengan sesuatu yang tampak ‘hebat’. Namun disisi lain, tak bisa disalahkan juga, sebab kita tentu sangat mendambakan anak-anak Indonesia yang berprestasi. Anak-anak Indonesia yang hebat, memang harus kita dukung agar bisa berbhakti kepada bangsa dan negara.

Lalu apa masalahnya dengan kasus ini?

Kebetulan mereka adalah bagian dari generasi muda kita. Apapun yang telah mereka lakukan, harus bisa kita terima sebagai palajaran agar kita lebih teliti dan berhati-hati dalam menyikapi segala sesuatu yang tampaknya ‘hebat’. Maksudnya hebat adalah karena mereka masih remaja, tapi mampu berkarya layaknya orang dewasa.

Kemudian jika di belakang hari diketahui bahwa perbuatan mereka ternyata tak sehebat yang terlihat, tak perlu menghujat apalagi membuat mereka merasa menjadi orang yang tak berguna.

Kalau kita mau bersikap adil, maka ambil saja yang baik dan buang yang buruk. Bukankah yang membuat mereka terkenal adalah karena banyak orang yang memberitakan atau membagikan informasi tentang ‘kehebatan’ mereka?

Jika dicari-cari siapa yang bersalah, tentu tak hanya AFI dan YAHYA saja, tapi semua orang yang telah memberitakannya juga termasuk yang berbuat salah. Tapi untuk apa mencari-cari kesalahan? Apa gunanya menghakimi anak-anak muda kita meski apa yang mereka perbuat ternyata tidaklah sehebat yang kita bayangkan?

Jadikan kasus AFI dan YAHYA ini sebagai cermin atas perilaku kita semua, agar tidak terburu-buru menilai sesuatu tanpa memastikan terlebih dahulu kebenarannya. Sebagaimana nasihat dari para leluhur orang Jawa “Ojo Kagetan, Ojo Nggumunan” (Jangan cepat kaget dan jangan cepat heran).

Agar kasus seperti ini tak terulang, maka kita musti membiasakan diri untuk melakukan verifikasi dan antisipasi terhadap segala persoalan dalam kehidupan kita, untuk memastikan bahwa semuanya adalah benar adanya.

#donibastian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.