Kenapa saya bilang ini opsi “gila” ?
Karena memang diluar nalar. Bagaimana Ahok berani menawarkan 2 opsi itu, sedangkan dia sendiri tidak memberikan alasan secara detail terhadap angka 25 % ? Terkait dengan itu, dikalangan masyarakat, menjadi bertanya- tanya kenapa Ahok mematok angka 25 %.
Itu untuk opsi pertama, sedangkan opsi kedua, bagaimana bila terjadi semua proyek PU diserahkan kepada Wagub untuk mengerjakannya ? Bukan masalah bisa atau tidak bisa, tapi apakah ini justru menambah beban kerjanya ? Persoalan yang ada saja sudah segudang, apalagi ditambah dengan mengerjakan proyek.
Karena tidak adanya penjelasan yang rinci begaimana bisa timbul angka 25 % maka persepsi yang timbul adalah Ahok seolah memberikan kesan, bahwa dimasa lalu telah terjadi pemborosan anggaran minimal sebesar 25 %.
Padahal kita semua tahu bahwa Ahok baru saja menjabat sebagai Wagub beberapa bulan lalu. Berbeda bila yang menyampaikan hal itu misalnya mantan Wagub DKI Prijanto, yang mana selama 5 tahun telah menjabat sebagai Wagub DKI, sehingga tahu persis apa yang terjadi dengan penggunaan anggaran oleh para staff-staffnya.
Disini saya akan menyampaikan opini pribadi saya, bahwa apa yang disampaikan Ahok dengan memotong anggaran 25 %, itu adalah wajar wajar saja.
Kenapa 25 % wajar ?
Bagi pihak pihak yang telah terbiasa terlibat dalam urusan pengerjaan proyek proyek pemerintah, pastilah setuju dengan pendapat saya. Dan ironisnya, kondisi demikian ini, tidak hanya dalam lingkup Pemda DKI, bahkan di instansi pemerintah manapun baik di Kantor Kementerian hingga pemerintah daerah lainnya, semua kondisinya sama. Maksudnya adalah dimana-mana telah terjadi pemborosan anggaran minimal 25 %.
Mengapa Ahok tak menyampaikan perhitungan bagaimana memperoleh angka 25 %, karena memang ini tidak bisa dan tidak mungkin diberikan alasan perhitungannya.
Kenapa ?
Jangankan itu, kita semua masih ingat, dulu masih dijaman orde baru, begawan ekonomi Indonesia Prof Soemitro, pernah dengan tegas menyatakan bahwa pada waktu itu telah terjadi ‘kebocoran’ anggaran negara sebesar 30 % ! Jadi angka 25 % punya Ahok masih lebih rendah dibadingkan dengan angka 30 % milik Soemitro.
Apakah ini justru menunjukkan penurunan angka kebocoran anggaran di DKI ? Tidak juga, sebab yang terjadi sesungguhnya bisa lebih dari 25 %, bahkan ada sebuah proyek yang bocor sampai 50 % ! Memang ini merupakan hal yang sangat memprihatinkan kita semua.
Tapi yang saya permasalahkan disini bukanlah angka 25 atau 30 %, tetapi kenapa bisa terjadi kebocoran anggaran sebesar itu dan mengapa sudah bertahun tahun ‘kebiasaan’ ini masih saja terjadi ?
Saya beranggapan bahwa masalah kebocoran anggaran sudah sangat sulit dihindari. Karena hal ini telah terjadi secara turun temurun, dari generasi ke generasi seakan telah ‘hinggap selama lamanya’ didalam kultur penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini.
Tak peduli itu siapa yang menjabat, siapa yang jadi pelaksananya, yang pasti, kebocoran anggaran itu sudah tak bisa lagi dipungkiri. Karena ini sudah menjadi semacam budaya, sudah sistemik, bukan rahasia lagi dan bahkan telah mampu membuat sebuah persepsi bahwa hal itu adalah hal yang biasa saja !
Jadi, apakah dalam hal ini Ahok akan tampil sebagai ‘algojo’ untuk memberangus budaya penyelewangan anggaran di lingkungan Pemprov DKI ?
Terlepas dari berhasil atau tidak misi tsb, yang jelas Ahok telah menunjukkan sikap yang menentang segala bentuk penyelewengan uang rakyat.
Ini harus kita dukung, juga sebagai inspirasi bagi kita semua, agar kita kembali ke jalan yang ‘benar’.
Salam.