Saat Berbagi Kebahagiaan dengan Seorang Lelaki Tua

Di bawah terik mentari lelaki tua itu berjalan sendirian. Cuaca gerah membuat bajunya yang sederhana tampak lusuh dan penuh peluh. Warna kain celananyapun sudah terlihat luntur, mungkin karena dia tak mampu lagi untuk menggantinya dengan yang baru.

Dari cara berjalannya yang pincang, sangat mudah dikenali bahwa dia adalah seorang lelaki tua yang cacat. Namun dia tak pernah menyerah dan putus asa dalam menyambung hidup.

Setangkup koran terbitan hari ini dipeluknya kesana-kemari, sambil terus menyusuri tepian jalan yang panas. Sepasang matanya sesekali melirik kekiri dan kekanan, barangkali ada yang mau membeli selembar dua lembar koran demi sesuap nasi untuknya nanti malam.

Sesaat aku tercenung melihatnya. Dalam hati aku bertanya kepada diriku sendiri, “Sebegitu beratkah beban yang harus ditanggungnya?”

Hati ini terasa perih dan aku tak mampu menahan airmataku yang sedikit berlinang. Aku kemudian berusaha untuk segera melupakannya, tapi aku tak bisa.

“Aku harus berbuat sesuatu untuknya”, hati kecilku bicara.

Lelaki itupun sudah mulai menjauh dari pandanganku tapi aku seperti tak ingin kehilangan dia. Aku harus segara menyusul dan membeli koran yang dijajakannya. Kupercepat langkahku untuk mendekatinya.

“Pak.. Pak.. Koran..!!” Aku berteriak memanggilnya agar dia bisa mendengar suaraku dari kejauhan. Lelaki itupun menoleh, dan kemudian berbalik menuju kearahku.

Aku dan dia sama-sama berjalan saling mendekat. Semakin dekat, semakin kulihat caranya berjalan yang pincang. Membuatku tak bisa mengindar dari rasa iba.

“Kasihan sekali kau pak tua?. Kamana anak dan istrimu? Ataukah mereka sudah tak peduli lagi dengan kondisimu yang jadi seperti ini? Ataukah memang ini jalan hidup yang musti kau tempuh?” Berjuta pertanyaan bergayut di dalam dada namun tak sempat terucap, hingga dia berada tepat di depanku.

“Saya beli korannya, pak..”

“Oh iya.. Yang mana..?”, sambil ditunjukkan kepadaku, beberapa judul koran yang dibawanya.

“Yang ini.. satu aja pak..” Aku sama sekali tak peduli itu koran apa. Sengaja aku pilih koran paling lusuh yang membasah karena kucuran keringat di lengannya.

“Berapa ini?”, tanyaku
“Lima ribu..” jawabnya singkat

Aku merogoh dompet untuk mengambil selembar uang yang kuberikan kepadanya.

“Ini pak..”. Aku makin tak tega melihat wajahnya yang pucat dan bibirnya yang mengering itu.

Melihat lembaran uang seratus ribuan yang kuulurkan kepadanya, diapun mengeriyitkan dahi.

“Aduh, mas.. Uang pas aja.. Gak ada kembaliannya..”

Tatapan matanya yang sayu, sungguh membuatku tak sanggup lagi menatapnya lebih lama.

“Ya, gak papa pak, ambil aja semua..”,suaraku mendadak serak.
“Oh, terimakasih banyak ya mas.. Alhamdulillah..”, ucapnya lirih..

Aku melihat kedua matanya berbinar. Disaat yang sama, akupun ikut merasa bahagia melihat senyum kecil di bibirnya yang kering itu.

“Ya pak, sama-sama..” Aku berbalik arah dan segera pergi meninggalkannya sebab aku tak ingin dia mendengar nafasku yang terisak bersama airmata yang berlinang di sudut mataku..

Sambil melangkah aku berdo’a,” Ya Tuhan, mohon ampun atas segala dosa dan salahku..”

#donibastian
Medio April 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.