Banyak Ulama Tak Memahami Yang Tersirat Dibalik Yang Tersurat

yang tersirat

Saya selalu ingat dengan nasihat Gus Mus terkait dengan tingkat pemahaman seorang muslim terhadap agama Islam. Sebagaimana dalam dunia pendidikan/sekolah, dimana terdapat beberapa tingkatan/level pendidikan dari yang paling rendah yaitu PAUD, SD,SMP, SMA dan Perguruan Tinggi jenjang S1,S2,S3 dst.. demikian pula halnya dengan tingkatan pemahaman terhadap suatu Agama.

Ibarat kata, seseorang yang pendidikannya masih selevel SMA, tentu tingkat pengetahuan dan cara berpikirnya masih dibawah orang yang sudah lulus Perguruan tinggi dan menyandang gelar S1.  Biasanya justru orang yang penguasaan ilmu agamanya belum cukup mumpuni,  ketika memberikan pernyataan, merasa dirinya yang paling benar dan jika ada orang lain yang berbeda pemahaman dengannya dianggap salah.

Orang-orang yang mengaku ulama atau yang biasa dipanggil ustad atau kiai yang belum memiliki pemahaman yang mumpuni, mereka hanya sebatas menilai dari apa yang terlihat secara fisik, atau yang sebatas dari apa yang terbaca dari yang tersurat. Mereka belum mampu menangkap apa yang tersirat yaitu makna, esensi atau substansi dari suatu permasalahan.

Ciri-ciri ulama yang belum mampu menangkap yang tersirat dari yang tersurat antara lain :

  • Mudah sekali mengkafir-kafirkan orang lain
  • Menakut-nakuti jemaahnya akan masuk neraka jika tidak mengikuti pendapatnya
  • Menghakimi orang lain melakukan bid’ah, sirik dll atas dasar pemahamannya sendiri.
  • Tak bisa membedakan mana urusan agama dan mana urusan negara
  • Mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik.
  • Dalam memberikan ceramah berusaha menggiring opini jemaah dengan menggunakan dalil-dalil dan ayat-ayat Al’Qur’an atas penafsirannya sendiri.

Sebagai contohnya adalah misalnya dalam masalah Sholat. Sholat adalah salah satu ibadah yang dilakukan dengan gerakan tertentu sambil membaca kalimat dalam bahasa arab sesuai dengan tuntunan yang ada. Sholat secara fisik yang terlihat adalah gerakan badan dan mulut yang mengucapkan bacaan tertentu, namun sesungguhnya esensi atau substansi Sholat adalah suatu komunikasi yang terjalin antara makhluk dengan Sang Pencipta.

Bagi yang belum bisa memahami makna dari ibadah sholat, maka yang dipersoalkan adalah gerakan-gerakan atau bacaan-bacaannya semata. Jika melihat ada orang yang sedang sholat, tapi dengan gerakan yang aneh atau tidak seperti yang dia lakukan, maka tanpa pikir panjang lalu menyalah-nyalahkan dan menilai bahwa itu tidak syah dan ibadahnya tidak diterima.

Padahal yang lebih penting untuk dibicarakan adalah bagaimana meningkatkan kualitas daripada sholat itu sendiri, misalnya ke-khusyukannya, memahami atau mengerti artinya dan meresapi apa yang sedang dibaca. Juga ketepatan waktu dan bagaimana agar sholat bukanlah sekadar  untuk menunaikan kewajiban bagi seorang muslim namun lebih dari itu yaitu adalah sebagai suatu kebutuhan rohani.

Contoh yang lainnya adalah menelan mentah-mentah apa yang tertulis di dalam Al’Qur’an atau hadits, atau mencuplik suatu ayat sebagian saja (memenggal ayat) dan menafsirkannya sendiri lalu menyampaikan kepada jemaahnya. Misalnya saja dalam masalah pemahaman terhadap kaum kafir. Jika orang yang beragama lain (non Islam) diangggap kafir, kemudian pemahaman ini disampaikan kepada para jamaah, maka yang terjadi adalah membuat opini yang keliru yaitu seolah-olah memusuhi umat agama lain yang dianggapkan sebagai kaum kafir. Hal ini seharusnya tak boleh terjadi sebab dapat berpotensi terjadinya perpecahan atau disintegrasi bangsa akibat pemahaman yang keliru tersebut.

Oleh sebab itu saya hanya bisa menghimbau, jika anda ingin belajar atau memperdalam ilmu agama, carilah guru atau ulama yang memiliki pemahaman yang mumpuni. Untuk mengetahuinya, cobalah untuk mencari informasi latar belakang dari ulama atau ustad panutan anda. Bukan berarti kita mencurigai atau meragukan apa yang disampaikannya, namun agar kita juga senantiasa berusaha untuk berada pada jalan yang benar.

Para ulama yang bisa dijadikan panutan adalah mereka yang menghabiskan waktu dalam kehidupannya hanya untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama. Biasanya sejak kecil sudah berada didalam lingkungan pesantren hingga remaja dan meneruskan menuntut ilmu hingga ke level yang lebih tinggi di negara-negara Arab (Arab Saudi, Mesir, Irak, Yaman, dll).

Akhir kata, ada satu hal prinsip yang harus kita pegang teguh dalam menjalani kehidupan beragama, bahwa hasil akhirnya adalah menjadikan seseorang  yang memiliki akhlaqul karimah (perilaku baik/terpuji).

Jadi dengan demikian, jika ada yang mengaku ulama dan menguasai  ilmu agama yang tinggi namun perilakunya jauh dari akhlaq yang mulia, maka patut diragukan kualitas keilmuan yang dimilikinya.

#donibastian

‘Banyak Ulama Tak Memahami Yang Tersirat Dibalik Yang Tersurat’

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.