“Orang hidup, apalagi jadi pejabat publik, pandai saja tidak cukup. Musti pandai-pandai membawa diri…
Sebagai Gubernur, Ahok musti banyak belajar tentang cara berkomunikasi yang baik dengan lembaga lain dan semua elemen masyarakat. Meski apa yang dilakukannya benar, dia akan terasing dari komunitasnya…”
Sebait kata diatas, baru saja saya tulis di wall akun Facebook saya. Saya sesungguhnya agak terpaksa menulis kalimat itu. Sebab sejujurnya, saya secara pribadi merasa salut dengan kejujuran dan keberanian Ahok dalam memimpin Ibukota negara kita. Tapi untuk sekadar ingin meluapkan perasaan yang menggumpal dihati, dan ingin agar semuanya menjadi lebih baik lagi, biarlah tulisan itu dibaca oleh teman-teman saya.
Sebagai manusia yang hidup bersama dengan manusia yang lain, tentu diperlukan kemampuan untuk bersosialisasi, apalagi Ahok kini telah menjadi seorang Gubernur paling elit se Indonesia Raya. Keberadaan Ahok sangat diharapkan untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan yang ditinggalkan oleh Jokowi, yaitu mewujudkian Jakarta Baru yang benar-benar baru.
Maksud kata ‘baru’ tentu punya misi untuk memperbaiki tatanan di lingkungan Pemerintah Propinsi DKI menjadi lebih baik. Termasuk pengambilan kebijakan oleh Pemerintah Daerah yang selama ini ditunggu-tunggu oleh seluruh masyarakat ibukota, terutama demi menuntaskan segudang permasalahan yang telah menumpuk bertahun-tahun dan tak pernah terselesaikan.
Tak perlu lagi kita jabarkan satu-persatu aneka persoalan yang ada tersebut, sebab seolah itu hanya sekadar membuat hati gemas. Bagaimana tidak, apa yang telah diupayakan oleh Pemerintah DKI hingga kini, belum menunjukkan hasil yang cukup significan.
Kita semua tahu, Ahok bukan berasal dari keluarga miskin. Bahkan Ahok pernah menjadi pengusaha yang cukup ternama di daerahnya Bangka Belitung. Semisal tidak menjadi Gubernurpun, dia tetap saja jadi orang kaya. Oleh sebab itu seperti yang kita saksikan melalui tayangan televisi maupun YouTube, Ahok senantiasa bersikap tegas bahwa dia terjun di dunia Politik dan Birokrasi sama sekali bukan untuk mencari kekayaan. Dia bekerja semata-mata untuk kepentingan masyarakat. Sampai disini, Ahok seolah tampil sebagai Icon pejabat yang boleh ditiru oleh pejabat lainnya terutama sikapnya yang tegas dan berani melawan segala bentuk penyelewengan.
Ahok sama sekali tak takut kepada siapapun sebab memang niatnya yang keras untuk membangun kota Jakarta dengan cara yang bersih dan profesional. Jangankan turun jabatan, bahkan mati saat bertugaspun dianggapnya sebagai keberuntungan.
Pada satu sisi, Ahok patut mendapatkan acungan jempol. Namun ada sisi lain, mungkin Ahok kurang memiliki kemampuan untuk mengelolanya, yaitu pada sisi non teknis, komunikasi antar lembaga dan bersosialisasi dengan warganya.
Ahok mungkin berpendapat bahwa untuk membenahi segala persoalan di bumi Jakarta ini bisa diselesaikan dengan mengangkat bendera kebenaran dan logika diatas ranah konstitusi. Namun apa yang ada di lapangan, ternyata tak semudah seperti yang dibayangkannya.
Tampil marah-marah dimuka umum adalah menu hariannya. Jangankan kepada anak buahnya sendiri, dengan warga yang seharusnya dilindungi, Ahok malah berani menantang berkelahi !
Tentu kita semua tahu dan bolehlah kita sepakat bahwa Ahok punya itikad yang baik dan bertindak benar untuk meluruskan yang selama ini bengkok dan membersihkan semuanya yang masih tampak kotor. Namun Ahok mungkin sedikit terlupa, bahwa untuk memperoleh efektifitas terhadap upaya melakukan pembenahan diperlukan cara dan metode yang persuasif, bukan dengan marah-marah dan mempermalukan semua pihak dimuka umum. Ahok seolah ingin menyatakan bahwa dirinya adalah manusia yang paling bersih yang pernah ada dimuka bumi, dan semua orang wajib mencontohnya.
Ahok dalam hal ini melakukan sedikit kekeliruan. Bolehlah dia jadi pejabat yang pandai dalam menyusun rencana dan mengelola majemen pemerintahan, namun dengan sikap dan perilaku yang sedemikian keras dan terkesan arogan, bukan tidak mungkin akan berbalik menjadi bumerang yang dapat merintangi jalannya di dalam bekerja.
Mental birokrasi para pejabat kita sudah bertahun-tahun dan turun-temurun mewari si budaya lama yang statis dan feodalistis. Tiba-tiba Ahok tampil dengan pedang teracung-acung mengancam keberadaan setiap orang yang tidak mempu mengikuti apa yang diinginkannya. Tentu hal ini membuat panik berbagai pihak. Sementara niat dan itikad Ahok yang sangat mulia itu seakan tak terlihat lagi dimata orang lain.Publik terlanjur menilai bahwa Ahok dengan perangainya yang keras, dipandang tidak layak lagi memimpin ibukota.
Bila Ahok masih ingin diterima di tengah-tengah komunitas politiknya, maka Ahok harus segera berbenah diri dengan banyak belajar cara untuk menghormati dan menghargai orang lain. Segala permasalahan tentu lebih mudah diselesaikan bila dengan menggunakan cara yang santun dan menunjukkan budaya timur yang sangat menunjung tinggi kehormatan dan harga diri.
Apakah kini Ahok sudah tersesat sedemikan jauh, sehingga dia tak mampu lagi temukan jalan komunikasi yang lebih baik, sampai-sampai dia bersedia meladeni warganya dengan cara emosional yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang kepala daerah?
Bahkan yang sedang hangat di beritakan akhir-akhir ini, Ahokpun juga bersengketa paham dengan Anggota DPRD DKI yang berujung di realisasikannya hak angket untuk menelusuri jejak Pemimpin DKI itu apakah tidak ada penyimpangan dalam proses penyusunan draft Anggaran yang disampaikan kepada Kemendagri beberapa waktu lalu.
Bila dengan lembaga Legisatif-pun Ahok tak bisa akur, lalu bagaimana dia bisa menuntaskan tugasnya sampai periode waktu yang telah dijadwalkan?
Kini Ahok benar-benar sedang melawan badai di tengah samudera politik di tanah air. Cuaca yang buruk disertai petir yang menyambar-nyambar sedang mengancam keberadaan Ahok sebagai Gubernur DKI. Tak menutup kemungkinan bahwa bahtera karir sebagai birokrat yang telah dia bangun bertahun-tahun, tiba-tiba karam sebelum sampai ke dermaga tujuan.
Semoga Tuhan memberinya jalan yang terbaik.