Al-Maidah 51 : Benarkah Kata ‘Awliya’ Berarti Pemimpin?

democracy-means-everyone

Terkait dengan isu pemilihan Kepala Daerah dalam pilkada DKI tahun depan, beberapa kalangan dari warga muslim menolak pencalonan Ahok yang notabene Non Muslim sebagai Gubernur DKI. Mereka yang menolak Ahok tersebut dengan berpedoman pada Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 51 sbb :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Terjemahan :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi awliya mu; sebagian mereka adalah awliya bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi awliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Sebagai keterangan mengenai sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) tersebut sesuai dengan Tafsir Ibn Katsir sbb :

Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai penyebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang mulia ini. As-Saddi menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya sesudah Perang Uhud, Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Yahudi itu, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya, barangkali ia berguna bagiku jika terjadi suatu perkara atau suatu hal. Sedangkan yang lainnya menyatakan, Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di negeri Syam, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk Nasrani bersamanya. Maka Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi awliya kalian.(Al-Maidah: 51). hingga beberapa ayat berikutnya.”

Bila kita telaah lebih lanjut bahwa ayat tersebut diturunkan tentu ada konteksnya yaitu ketika terjadi sebuah peristiwa yang dijelaskan pada tafsir diatas.

Di dalam Surat Al-Maidah 51 tersebut terdapat satu kata kunci yaitu ‘Awliya’ yang mana kata ini menjadi sangat penting. Mengapa penting, sebab bila tidak tepat dalam mengartikannya, maka hal ini akan dapat dapat menimbulkan perbedaan pandangan di kalangan masyarakat luas dalam rangka penegakan demokrasi di negeri ini.

Sebagian masyarakat muslim berpendapat bahwa kata ‘Auwliya’ tersebut diterjemahkan sebagai ‘pemimpin’, sebagaimana yang tercantum didalam terjemahan Al Quran yang dterbitkan oleh pemerintah dhi. Kementerian Agama.

Pertanyaannya adalah sejauh mana kebenaran terjemahan Al Qur’an versi pemerintah tersebut sedangkan kita semua tahu bahwa dasar negara kita adalah Pancasila yang melindungi hak setiap warga negara untuk dipilih menjadi pemimpin atau Kepala Daerah dan pajebat negara lainnya hingga Presiden?

Bukankah terjemahan kata ‘awliya’ menjadi ‘pemimpin’ tersebut tidak sejalan dengan prinsip dasar demokrasi yang mana unsur SARA tidak relevan bila dikaitkan dengan proses pemilihan kepala daerah atau kepala negara ?

Saya jadi teringat dengan ucapan Gus Mus (KH Mustofa Bisri, tokoh NU) di dalam berbagai ceramahnya yang mengatakan bahwa kata ‘Auwliya” itu bisa diterjemahkan sebagai ‘bala’ atau ‘bolo’ dalam bahasa jawa, yang berarti teman atau sekutu.

Jadi secara keseluruhan maksud ayat tersebut diatas seharusnya ditafsirkan bahwa warga muslim tentu harus memilih ‘awliya’ yang juga dari sesama muslim dalam cakupan keagamaan (dalam hal ini agama Islam), bukan dikaitkan dengan kehidupan demokrasi.

Sebagaimana Tafsir Ibn Katsir tersebut juga tidak menafsirkan kata awliya sebagai pemimpin. Yang dimaksud adalah temenan dalam arti bersekutu dan beraliansi dengan meninggalkan orang Islam. Bukan dalam makna larangan berteman sehari-hari. Konteks al Maidah ayat 51 itu saat muslim kalah dalam perang uhud. Jadi ada yg tergoda untuk menyeberang dengan bersekutu pada pihak yahudi dan nasrani. Itu yang dilarang.

Demikianlah apa yang bisa saya sampaikan sekadar untuk meluruskan saja. Yang pasti negara Indonesia bukanlah negara Agama dan negara ini berlandaskan Pancasila yang melindungi setiap warga negaranya untuk memeluk keyakinan dan agamanya masing-masing sebagaimana yang tercantum didalam Undang-undang.

Bila negara memberi kebebasan memeluk agama masing-masing kepada setiap warga negara, lalu mengapa ada sebagian kalangan yang melarang non muslim dipilih sebagai pemimpin?

Untuk kita renungkan bersama..

#donibastian

Satu Komen

  1. Sila pertama PANCASILA:
    1. Ketahanan Yang Maha Esa

    Pasal 29 ayat (1) UUD 1945
    Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

    Negara dalam hal konstitusi dan melaksanakan amanat Pancasila sepertinya tidak konsisten dg pertanyaan “Apakah Agama – agama yang dijamin kebebasannya di negara ini semuanya menyembah Tuhan Yang Esa??”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.