Setelah Surat Al-Maidah ayat 51, kini At Taubah 84 kembali mencuat yang digunakan oleh sebagian ulama sebagai dalil untuk melarang umat muslim men-sholatkan orang yang mendukung non muslim sebagai Kepala Daerah. Agar tak salah arah, ada baiknya anda mengetahui alasan (asbabun nuzul) mengapa ayat At taubah 84 ini diturunkan.
Alkisah pada zaman dahulu kala, ada orang yang bernama Abdullah bin Ubay. Dia adalah seorang kepala suku Khazraj di jazirah Arab. Waktu itu, Nabi Muhammad SAW, sedang melakukan dakwah kepada penduduk setempat yang mana masih banyak yang menyembah berhala.
Sebagai kepala suku, ketika Abdullah bin Ubay mendengar berita mengenai ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diapun bersedia mengikuti ajaran nabi tersebut. Namun demikian, Abdullah bin Ubay tidak bisa menerimanya sepenuh hati. Meskipun dia telah mengaku beragama Islam, namun di dalam hatinya memendam rasa iri dan dengki kepada Nabi Muhammad SAW.
Abdullah bin Ubay kemudian menghasut warganya untuk membenci Nabi Muhammad SAW. Hampir setiap fitnah yang menjelek-jelekkan Islam, adalah hasil rekayasa yang dibuat oleh Abdullah bin Ubay ini. Karena perilakunya yang buruk itu, Abdullah bin Ubay justru menjadi musuh dalam selimut bagi umat Islam dan bahkan dia dijuluki sebagai pemimpin orang-orang munafik kala itu. Dia disebut munafik karena lain dimulut, lain pula di hati. Di depan dia mengaku beragama Islam, tapi di dalam hati menyimpan dendam dan ingin menyingkirkan nabi Muhammad SAW.
Namun demikian, Abdullah bin Ubay punya seorang anak yang namanya sama, Abdullah. Abdullah bin abdullah adalah anak yang berbhakti kepada ayahnya dan juga telah memeluk Agama Islam. Berbeda dengan ayahnya, Abdullah adalah seorang muslim yang taat dan dengan ikhlas menerima Nabi Muhammad SAW, sebagai utusan-Nya.
Pernah pada suatu ketika, Abdullah bin Abdullah mendengar kabar bahwa umat muslim akan membunuh ayahnya, karena dianggap sebagai musuh Islam. Dia kemudian mengadu kepada Nabi Muhammad SAW, dan memohon agar ayahnya jangan dibunuh, karena dia sangat mencintainya. Karena Nabi Muhammad SAW memiliki sifat yang mulia, akhirnya memenuhi permintaan Abdullah dan memaafkan ayahnya.
Pendek cerita, pada sekitar tahun 9 Hijriyah, terdengar kabar bahwa Abdullah bin Ubay menderita sakit keras dan akhirnya menemui ajal. Kemudian anaknya datang menemui Nabi Muhammad SAW, dengan airmata yang berderai dia memohon agar Nabi Muhammad bersedia men-sholatkan dan mendo’akan agar Allah SWT mengampuni segala dosa-dosa ayahnya.
Mendengar permintaan anak yang berbhakti kepada ayahnya ini, Nabi Muhammad SAW bersedia memenuhinya meski sudah ditegur oleh sahabat Umar,”‘Wahai Rasulullah, apakah engkau akan men-sholatkan musuh Allah —si Abdullah ibnu Ubay— ini yang telah seringkali menghasut warga untuk memusuhimu?”
Rasulullah Muhammad SAW. hanya tersenyum, hingga ketika Umar mendesaknya terus, Rasulullah kemudian bersabda, ‘Minggirlah dariku, hai Umar. Sesungguhnya aku disuruh memilih, maka aku memilih. Allah telah berfirman kepadaku: Kamu mohonkan ampun bagi mereka. (At Taubah: 80), hingga akhir ayat. Seandainya aku mengetahui bahwa jika aku melakukannya lebih dari tujuh puluh kali, lalu mendapat ampunan, niscaya aku akan menambahkannya.’
Kemudian Rasulullah Saw. menyalatkannya, berjalan mengiringi jenazahnya, dan berdiri di kuburnya hingga selesai penguburannya. Umar berkata, ‘Saya sendiri merasa aneh, mengapa kali ini saya berani berbuat demikian kepada Rasulullah Saw. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.
Tetapi tidak lama kemudian turunlah ayat At Taubah 84 :
{وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ;;’’ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ (84) }
Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik.
Sesudah itu Rasulullah Saw. tidak pernah lagi menyalatkan jenazah orang munafik, tidak pula berdiri di kuburnya hingga beliau wafat.”
Dari kisah di atas, Allah SWT menurunkan ayat yang melarang men-sholatkan orang yang munafik, maksudnya dalam konteks ini adalah orang yang mengaku beragama Islam tapi di dalam hatinya tidak ikhlas dan memusuhi Nabi Muhammad SAW.
Tapi apa yang terjadi sekarang ini adalah bahwa QS At Taubah 84 tersebut kembali digunakan oleh beberapa ulama sebagai dalil untuk melarang umat muslim untuk men-sholatkan jenazah orang yang semasa hidupnya mendukung non muslim sebagai Kepala Daerah.
Bukankah kisah Abdullah Bin Ubay tersebut tak ada hubungannya dengan masalah politik, khususnya pemilihan kepala daerah? Mengapa kedua hal yang sama sekali tak ada kaitannya dihubung-hubungkan?
Wallahua’lam bissawab..
#donibastian
“Kisah Abdullah bin Ubay dan Penyalahgunaan Ayat At Taubah 84 untuk Kepentingan Politik”
.