Dalam jejak sejarah Republik Indonesia, nama Pasukan Cakrabirawa tak sekadar identitas satuan elite pengawal presiden, tetapi juga mengandung makna simbolik yang dalam, bersumber dari akar spiritual kuno. Diambil dari bahasa Sanskerta, “Cakra” melambangkan roda atau senjata pemutar Dewa Wisnu, sedangkan “Bhirawa” (atau Bhairawa) merupakan manifestasi ganas Dewa Siwa sebagai pelindung sekaligus penghancur. Ketika dua unsur ini disatukan dalam nama sebuah pasukan militer, muncullah pertanyaan mendalam: apakah kekuatan yang dibentuk dengan simbol suci itu benar-benar menjadi penjaga dharma (kebenaran), atau justru berubah menjadi bayang-bayang kutukan dari Bhairawa sendiri ketika disalahgunakan oleh ambisi manusia?
1. Makna Simbolik: Cakra dan Bhirawa sebagai Kekuatan Kosmis
Dalam tradisi Hindu:
-
Cakra adalah simbol energi kosmik yang dinamis, alat untuk menjaga tatanan alam semesta. Ia adalah senjata Dewa Wisnu, digunakan untuk menjaga dharma (kebenaran).
-
Bhirawa (Bhairava) adalah salah satu manifestasi ganas Dewa Siwa, dewa penghancur dalam Trimurti Hindu. Bhairawa melambangkan penghancuran ego, ketertiban palsu, dan segala hal yang menghalangi kebenaran sejati.
Gabungan keduanya menyiratkan kekuatan yang luar biasa, menyeramkan, namun suci: sebuah kekuatan pelindung yang siap menghancurkan demi menjaga keseimbangan kosmik.
2. Pasukan Cakrabirawa: Simbol Perlindungan atau Pelanggaran Dharma?
Ketika Presiden Soekarno memberi nama “Cakrabirawa” kepada pasukan pengawalnya pada 1962, ia tampaknya tidak hanya sekadar memberi nama militer, tetapi membangkitkan simbolisme spiritual kuno. Pasukan ini dimaksudkan menjadi tameng pelindung terhadap ancaman dalam dan luar negeri, simbol kesetiaan mutlak.
Namun sejarah mencatat, sebagian oknum dalam tubuh Cakrabirawa terlibat dalam peristiwa kelam: Gerakan 30 September 1965 (G30S). Sejak itu, nama mereka menjadi bayangan hitam dalam sejarah Indonesia.
3. Kutukan Bhairawa? Tafsir Mistis atas Sejarah Kelam
Bila ditinjau secara spiritual dan simbolis, kisah Cakrabirawa bisa dilihat sebagai paradoks antara pelindung dan perusak—sama seperti Dewa Siwa yang mampu menjadi pelindung paling agung sekaligus penghancur terganas. Dalam bentuk Bhairawa, Siwa menghancurkan segala kemunafikan, kesombongan, dan pengkhianatan.
Maka, apakah keterlibatan Cakrabirawa dalam peristiwa G30S bisa dilihat sebagai “kutukan” Bhairawa?
Dalam tafsir spiritual, bisa jadi:
“Ketika kekuatan ilahi yang seharusnya menjaga kebenaran disalahgunakan untuk tujuan kekuasaan atau kepentingan gelap, maka kekuatan itu sendiri akan menghancurkan yang menyalahgunakannya.”
Inilah prinsip Bhairawa—tidak membiarkan kekacauan dan ketidakseimbangan berlangsung lama.
4. Pelajaran Spiritual: Mengendalikan Bhirawa dalam Diri
Dewa Siwa, dalam manifestasi Bhairawa, sejatinya bukan hanya penghancur luar, tapi juga simbol penghancuran sisi gelap dalam diri manusia—amarah, keserakahan, dan kebencian.
Pasukan Cakrabirawa menjadi pengingat bahwa:
-
Kekuatan tanpa kebijaksanaan adalah bumerang.
-
Nama suci tidak menjamin kesucian tindakan.
-
Setiap kekuatan spiritual memiliki sisi terang dan gelap—dan harus digunakan dengan kesadaran yang jernih.
5. Dimensi Dualitas: Kekuatan Pelindung yang Berpotensi Merusak
5.1. Kekuatan Pelindung yang Ideal
Dalam konteks spiritual tradisional, simbol-simbol seperti cakra dan Bhairawa mengajarkan tentang dualitas kekuatan.
-
Cakra, sebagai simbol perputaran alam semesta, melambangkan keteraturan, siklus kehidupan, dan kemampuan untuk meluruskan kembali ketidakteraturan.
-
Bhairawa, di sisi lain, menonjolkan sisi penghancuran yang bersifat regeneratif—yakni, penghancuran terhadap segala bentuk kealpaan, kemunafikan, dan ketidakadilan yang mengganggu keseimbangan universal.
Dalam paradigma ideal, kekuatan yang begitu besar diarahkan ke tujuan yang mulia—untuk menjaga keseimbangan alam dan menegakkan kebenaran. Penggunaan simbol ini sebagai identitas pasukan pengawal seharusnya menandakan komitmen terhadap perlindungan integritas dan keadilan.
5.2. Penyimpangan dan Penyalahgunaan Kekuatan
Kenyataannya, dalam realitas sejarah, simbolisme tersebut dapat terdistorsi:
-
Transendensi menjadi Terkurung oleh Ambisi: Saat nilai-nilai spiritual disalahgunakan oleh ambisi politik atau kekuasaan, kekuatan yang ideal dapat berubah menjadi instrumen penindasan. Para pengawal, meskipun dilantik dengan nama dan simbol yang sakral, bisa saja terjerumus ke dalam tindakan yang jauh dari makna aslinya.
-
Kutukan atau Pembalasan Kosmik: Dalam kerangka pemikiran mistis, penyalahgunaan kekuatan yang diberkahi ilahi bisa dianggap sebagai pemanggilan kutukan. Ini tidak berarti bahwa kekuatan itu sendiri “jahat”, melainkan bahwa penyalahgunaannya oleh manusia membawa konsekuensi destruktif—sebuah mekanisme alami dalam tatanan kosmis yang menuntut keseimbangan.
6. Dampak Sejarah dan Refleksi Filosofis
6.1. Jejak Sejarah Kelam
Pasukan Cakrabirawa telah meninggalkan bayang-bayang sejarah, terutama terkait dengan peristiwa kontroversial seperti Gerakan 30 September 1965 (G30S).
-
Pertentangan Realitas dengan Simbolisme: Ironisnya, meskipun nama dan lambangnya mengandung makna perlindungan dan pembaruan, sejumlah pihak menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh elemen tertentu dalam pasukan tersebut menjadi cermin dari penyimpangan dari nilai-nilai luhur.
-
Pertanyaan Moralitas dan Spiritualitas: Di sinilah terdapat perdebatan mendalam: Apakah kehancuran yang terjadi merupakan manifestasi dari ketidakseimbangan antara potensi spiritual dengan realitas manusia yang terperangkap dalam ambisi dan kekuasaan? Banyak pemikir dan rohaniawan melihatnya sebagai contoh bagaimana energi ilahi—jika tidak dikelola dengan kebijaksanaan—dapat berubah menjadi bencana.
6.2. Pembelajaran dan Peringatan Spiritual
Dari sudut pandang spiritual dan filosofis, pelajaran yang bisa diambil antara lain:
-
Pentingnya Kesadaran Diri: Sama seperti Dewa Siwa dalam wujud Bhairawa mengajak umat untuk mengendalikan kemarahan dan kealpaan, kisah pasukan ini mengingatkan bahwa setiap kekuatan harus selalu diimbangi dengan kesadaran, tanggung jawab moral, dan kontrol diri.
-
Kekuatan sebagai Pedang Bermata Dua: Simbol kebesaran yang seharusnya melindungi bisa berbalik menjadi penghancur bila disalahgunakan. Proses pembelajaran ini mengajak setiap individu—terutama mereka yang memiliki akses kepada kekuatan besar—untuk terus menerus melakukan refleksi batin atas setiap keputusan.
-
Transformasi sebagai Jalan Menuju Pembaharuan: Dalam tradisi mistis, setiap “penghancuran” memiliki potensi untuk membuka jalan menuju penciptaan baru. Peristiwa kelam sejarah bisa menjadi cermin bagi perubahan spiritual, di mana masyarakat belajar untuk membangun kembali dengan fondasi nilai-nilai keadilan dan moralitas yang lebih kokoh.
Baca juga : Prabu Siliwangi, Raja Legendaris Tanah Pasundan
Kesimpulan
Pasukan Cakrabirawa bukan kutukan secara harfiah, tetapi secara spiritual dan simbolis, mereka mencerminkan peringatan dari Bhairawa:
“Siapa pun yang menyalahgunakan kekuatan suci untuk tujuan egois, akan dihancurkan oleh kekuatan itu sendiri.”
Dalam kebijaksanaan Siwa: penghancuran bukanlah akhir, tetapi jalan menuju penciptaan ulang yang lebih suci.