Pernah dengar suara penyiar radio yang enerjik banget tapi ternyata masih mahasiswa semester lima? Atau temanmu tiba-tiba jadi terkenal di kampus karena siarannya tiap malam di radio lokal? Yap, dunia penyiaran radio bukan cuma milik mereka yang sudah lama malang melintang di industri. Sekarang, banyak mahasiswa yang nyambi jadi penyiar radio—dan ini bukan sekadar tren, tapi sudah jadi fenomena tersendiri.
Kenapa Mahasiswa Tertarik Jadi Penyiar?
1. Cuan Lumayan
Pertama-tama, mari kita jujur: jadi mahasiswa itu butuh duit. Dari beli kopi buat begadang sampai ongkos pulang kampung pas libur semester. Jadi penyiar radio bisa sebagai solusi finansial yang menyenangkan. Honor memang nggak selalu besar, tapi cukup buat nambah-nambah uang jajan (dan gaya hidup nongkrong di kafe estetik).
2. Kerja Tapi Nggak Kerasa Kerja
Beda sama kerja part-time di kafe atau toko, penyiar itu rasanya kayak main-main tapi dapet duit. Kamu ngobrol, muterin lagu, kadang ngebacain curhat orang—tapi semua itu malah bikin kamu senang. Cocok banget buat mahasiswa yang nggak tahan kerja monoton.
3. Nambah Skill Tanpa Disuruh Dosen
Tanpa sadar, mahasiswa yang jadi penyiar belajar public speaking, improvisasi, manajemen waktu, bahkan nulis naskah. Semua itu adalah skill hidup yang penting banget, dan nanti bisa jadi nilai plus di CV. Seru, kan? Dapet pengalaman kerja nyata tanpa harus pakai jas almamater dan ikut KKN duluan.
Siaran Sambil Kuliah: Emang Bisa?
Jawabannya: bisa banget, asal bisa bagi waktu. Banyak mahasiswa yang siarannya malam atau akhir pekan, jadi nggak ganggu jadwal kuliah. Malah kadang mereka justru belajar lebih fokus karena tahu harus nyiapin rundown siaran juga. Yang penting disiplin dan tahu kapan harus jadi “penyiar keren” dan kapan harus jadi “mahasiswa ngulik makalah”.
Radio Jadi Ruang Ekspresi
Bagi banyak mahasiswa, radio adalah tempat berekspresi. Bisa curhat, berbagi opini, bahkan ngasih semangat ke pendengar yang nggak dikenal. Ada yang punya segmen curhat malam, ada yang bahas musik indie lokal, bahkan ada juga yang bikin program khusus anak muda. Semua itu jadi wadah buat jadi diri sendiri—sesuatu yang nggak selalu bisa dilakukan di ruang kelas.
Tantangan? Jelas Ada.
Tapi jangan kira dunia penyiaran itu cuma ketawa-ketiwi dan muter lagu doang. Mahasiswa penyiar juga harus siap begadang, mikirin konten, bahkan menghadapi pendengar yang kadang iseng atau nyinyir. Belum lagi kalau harus siaran saat tugas numpuk atau pas badan lagi drop. Tapi di situlah letak seni dan tantangannya—bisa tetap profesional walau lagi skripsi mepet.
Dari Nyambi Jadi Karier Serius
Menariknya, banyak penyiar senior yang awalnya juga cuma “nyambi” pas kuliah. Mereka jatuh cinta sama dunia ini, lalu terus menekuni sampai jadi karier utama. Jadi, buat mahasiswa yang sekarang siaran di radio kampus atau radio lokal, bisa jadi ini awal dari jalan panjang yang menyenangkan. Siapa tahu, besok lusa suaranya jadi langganan pagi-pagi di radio nasional?
baca juga : Wacana Garansi Bank Untuk Pembayaran Royalti Pencipta Lagu
Kontrak Kerja Penyiar: Bukan Sekadar Ngobrol di Studio
Nah, buat kamu yang mikir bahwa penyiar radio itu cuma masuk studio, ngobrol, terus pulang—nggak semudah itu, Ferguso! Ada sistem kerja yang juga harus dipahami, apalagi kalau kamu sudah masuk ke ranah penyiar profesional atau penyiar paruh waktu di radio komersial.
1. Freelance atau Part-time
Banyak mahasiswa yang mulai karier sebagai penyiar radio freelance atau part-time. Artinya, kamu siaran sesuai jadwal yang disepakati, misalnya seminggu dua kali, atau cuma siaran malam weekend. Gaji? Biasanya dihitung per jam siaran atau per bulan, tergantung kesepakatan. Enaknya, waktu kamu tetap fleksibel dan bisa disesuaikan dengan jadwal kuliah.
2. Sistem Kontrak 3 Bulanan atau 6 Bulanan
Beberapa radio juga menerapkan sistem kontrak pendek, misalnya 3 bulan atau 6 bulan. Tujuannya? Buat ngecek performa kamu. Kalau suara kamu oke, pendengar suka, dan kamu disiplin, biasanya kontrak bakal diperpanjang. Tapi kalau sering telat, nggak nyiapin materi, atau malah ghosting pas jadwal siaran, ya siap-siap “dilepas” kayak pemain bola.
3. Training Dulu, Baru Siaran
Biasanya, kamu nggak langsung siaran begitu diterima. Ada masa training dulu. Di sini kamu belajar cara ngoper console, cara cue lagu, teknik vokal, dan bikin script. Kadang kamu juga harus “ngisi suara” dulu di program off-air atau podcast internal sebelum dikasih jam tayang beneran. Jadi, sabar yaa… semua butuh proses.
4. Siaran Tapi Harus Juga Bikin Konten
Zaman sekarang, penyiar Radio nggak cuma siaran di udara, tapi juga bikin konten digital. Mulai dari bikin teaser siaran di Instagram, jadi host live TikTok, sampai bikin video behind the scenes. Nah, ini juga masuk dalam tanggung jawab kamu kalau udah terikat kontrak. Jadi jangan kaget kalau tiba-tiba disuruh bikin reels, bukan cuma muter lagu.
5. Kontrak Tetap? Ada, Tapi Langka
Kalau kamu sudah pengalaman dan suaramu punya “nilai jual”, bisa aja kamu dikontrak tetap sebagai talent utama. Tapi ini biasanya buat penyiar Radio senior atau mereka yang pegang prime time (jam-jam favorit kayak pagi atau sore hari). Benefit-nya jelas: gaji bulanan, jadwal tetap, plus kadang dapat job iklan atau event dari radio.
✨ Singkatnya:
Penyiar radio itu bisa dibilang kayak jadian sama seseorang: awalnya coba-coba, lalu dilihat cocok atau nggak, baru deh lanjut ke hubungan yang lebih serius (alias kontrak tetap). Tapi kuncinya satu: tunjukin kalau kamu layak dipertahankan.
Penutup: Suara Mahasiswa, Gelombang Masa Depan
Fenomena mahasiswa nyambi jadi penyiar radio adalah bukti kalau anak muda sekarang nggak cuma kreatif, tapi juga adaptif dan berani mencoba hal baru. Radio mungkin bukan lagi media utama di era YouTube dan TikTok, tapi justru di situlah menariknya—suara yang tulus dan otentik masih punya tempat di hati pendengar.
Jadi, kalau kamu mahasiswa dan punya suara merdu (atau minimal enak didengar), suka ngobrol, dan pengin punya pengalaman keren sambil cuan, kenapa nggak coba profesi penyiar Radio?
Siapa tahu, suaramu yang sekarang mengudara di 103.5 FM, suatu hari nanti bakal jadi suara nasional yang bikin orang berkata, “Eh, ini kan dulu anak kampus kita!”