Dalam 50 tahun terakhir berbagai kepala negara di dunia terlibat tuduhan pemalsuan ijazah atau penggunaan gelar palsu, baik yang terbukti maupun yang masih kontroversial. Kasus-kasus ini menimbulkan persoalan hukum dan politik: beberapa pemimpin harus mundur, sementara lainnya tetap berkuasa meski menghadapi desakan publik. Misalnya, laporan Times Higher Education mencatat bahwa tuduhan korupsi akademik sering menjadi “bahaya profesional” bagi politisi di beberapa negara.
Tabel Ringkasan Kasus
Kepala Negara (Status) | Negara | Tahun Terungkap/Kasus | Jenis Pelanggaran | Status Hukum | Dampak Karier |
---|---|---|---|---|---|
Joko Widodo (Presiden RI) | Indonesia | 2022–2025 | Dugaan pemalsuan ijazah S1 UGM (1985) | Kontroversi; ijazah dinyatakan asli | Tidak terpengaruh (menjabat 2 periode); gugatan hukum dimenangkan Jokowi |
Recep Tayyip Erdoğan (Presiden) | Turki | 2014–2016 | Dugaan ijazah/gelar universitas palsu | Kontroversi; tidak terbukti | Tetap berkuasa (terpilih kembali); pembuktian ijazah ditolak YSK |
Bola Tinubu (Presiden) | Nigeria | 2023 | Dugaan ijazah Universitas Chicago palsu | Kontroversi; dalam proses hukum | Menjabat presiden; kasus disidang sampai Mahkamah Agung |
Pál Schmitt (Presiden) | Hungaria | 2012 | Plagiarisme disertasi doktor | Terbukti; gelar dicabut | Mengundurkan diri; kehilangan jabatan presiden |
Detil Kasus
Joko Widodo (Indonesia)
Mantan Presiden Indonesia Joko Widodo menghadapi tuduhan bahwa ijazah S1 Fakultas Kehutanan UGM (1985) yang dipakainya palsu. Gugatan hukum diajukan atas dugaan manipulasi dokumen akademik, dipicu oleh perbedaan tanggal pendirian program studi dan kejanggalan pada cover skripsi (font Times New Roman yang dianggap belum ada di era 1980-an).
UGM membantah semua tuduhan, menegaskan ijazah dan skripsinya asli. Jokowi bahkan menunjukkan dokumen asli kepada pihak berwenang dan media, dan Polri pada Mei 2025 menyatakan ijazah tersebut asli setelah pemeriksaan forensik.
Dalam proses hukum, tuduhan ini belum menghasilkan vonis (karena Jokowi telah menyelesaikan masa jabatan), dan ia memenangkan tiga gugatan mengenai isu ini. Secara politik, kasus ini relatif tidak mengganggu karier Jokowi – ia tetap menjabat dua periode dan kontroversi ini lebih menjadi isu kampanye oposisi.
Recep Tayyip Erdoğan (Turki)
Sejak kampanye pemilihan umum 2014, Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan disorot soal keaslian ijazah Sarjana Ekonomi dari Universitas Marmara. Beberapa pihak menuduh ia tidak benar-benar lulus, atau menggunakan gelar yang tak sesuai dengan data fakultas pada waktu itu.
Marmara sempat mengeluarkan salinan ijazah tahun 2016, namun menyebut fakultas yang berbeda dari klaim Erdoğan. Dewan Pemilihan Tinggi (YSK) Turki pun menolak membuka investigasi karena tidak cukup bukti. Pada akhirnya tuduhan ini belum terbukti secara hukum
Erdoğan tetap menjabat presiden dan kembali terpilih, meski persoalan ijazah ini terus diangkat oleh partai oposisi selama kampanye. Kasus ini menggambarkan bagaimana kontroversi akademik kerap menjadi senjata politik, tetapi dalam konteks Turki (dengan persyaratan ijazah perguruan tinggi untuk calon presiden) isu ini tidak menghentikan karier Erdoğan.
Bola Tinubu (Nigeria)
Presiden Nigeria Bola Tinubu terseret dalam kontroversi pada 2023 terkait ijazah Sarjana dari Chicago State University (AS). Lawan politiknya, Atiku Abubakar, menuduh Tinubu menggunakan ijazah Universitas Chicago yang dipalsukan.
Pihak CSU awalnya menyatakan tidak memiliki data kelulusan atas nama Tinubu, yang memicu gugatan hukum. Berdasarkan perintah pengadilan AS, Chicago State University kemudian merilis data yang menunjukkan Tinubu memang pernah terdaftar dan menyelesaikan kuliahnya.
Dokumen yang diserahkan ke komisi pemilu Nigeria pun sesuai format resmi universitas, walau terdapat perbedaan administrasi pada sertifikat pengganti 1997.
Hingga kini kasusnya masih berlanjut di Mahkamah Agung Nigeria, dan status hukumnya belum final. Secara politik, Tinubu tetap dilantik sebagai presiden 2023; isu ijazah ini menimbulkan pertanyaan publik tetapi belum memakzulkan jabatannya.
Pál Schmitt (Hungaria)
Pada 2012 Presiden Hungaria Pál Schmitt terjebak skandal plagiarisme akademik. Ditemukan bahwa disertasi PhD tahun 1992-nya berjudul “modern Olympic Games” banyak disalin dari karya ilmuwan lain.
Universitas Semmelweis di Budapest menyelidiki dan mencabut gelar doktor Schmitt. Menyusul keputusan tersebut, Parlemen Hungaria segera menerima pengunduran dirinya. Ini adalah kasus pemalsuan akademik yang terbukti secara hukum.
Schmitt kehilangan gelar dan jabatan presiden. Kejadian ini menyoroti norma transparansi di Eropa – plagiarisme pada tingkat kepala negara dianggap pelanggaran serius yang memaksa mundur.
Konteks Politik dan Dampak
Dampak kasus-kasus di atas bervariasi menurut konteks politik negara bersangkutan. Di negara-negara dengan penegakan hukum ketat terhadap integritas akademik (seperti Hungaria dan beberapa negara Eropa), tuduhan pemalsuan ijazah atau plagiarisme disertasi sering berujung pada pencabutan gelar dan pengunduran diri pejabat. Sebaliknya, di banyak negara berkembang tuduhan serupa lebih menjadi isu politik: meski memicu perdebatan, seringkali tidak ada proses hukum tuntas.
Misalnya, investigasi terhadap ijazah Erdoğan ditolak pengadilan, dan ia tetap berkuasa. Di Indonesia, meski hukum mengancam pemalsu ijazah penjara hingga 5 tahun, penanganan kasus Jokowi lebih sering dilihat sebagai perebutan legitimasi politik: analis menyatakan isu ini kurang relevan setelah ia tidak lagi berkuasa, dan malah mengalihkan perhatian dari masalah-masalah besar lain seperti dugaan korupsi keluarga eks presiden.
Beberapa faktor juga memperparah kontroversi tersebut. Misalnya, jika data atau dokumen asli sulit diperoleh (seperti ijazah lama), masyarakat menjadi sinis. Pada kasus Jokowi, hanya fotokopi ijazah yang beredar publik, sehingga muncul spekulasi liar.
Sebaliknya, kejelasan bukti dapat menutup isu: Polri menyatakan ijazah Jokowi asli setelah uji forensik, dan Chicago State University akhirnya mengakui kelulusan Tinubu. Secara keseluruhan, publikasi berita dan tekanan oposisi sering memperbesar isu ini—bagaimanapun, kasus-kasus tersebut sering kali mencerminkan ketidakpercayaan terhadap elit politik dan menjadi simbol konflik kepentingan dalam suatu rezim.