Kisah Di Balik Kasus Shila Sawangan Bermasalah

shila sawangan bermasalah

Isu ‘Shila Sawangan Bermasalah‘ ini mulai berhembus sejak adanya kasus sengketa kepemilikan atas tanah seluas 91 Ha sebagai lokasi pemukiman elit Shila at Sawangan Depok.  Sebagian anggota masyarakat di sana, khususnya pihak pengelola, pengembang, pemilik kavling dan calon investor tentu merasa resah dan khawatir dengan adanya isu ini. Sebab hal yang paling penting  dipertimbangan adalah kepastian hukum terkait legalitas dan status kepemilikannya agar tidak terjadi permasalahan di kemudian hari.

Setelah melalui berbagai sidang perkara melalui pengadilan, kasus ini akhirnya dapat terselesaikan sehingga para pihak terkait tentu merasa lega dan tak ada lagi yang perlu diragukan terkait status kepemilikan tanah di Shila At Sawangan.

Tak banyak yang mengetahui bahwa sesungguhnya kasus Shila Sawangan Bermasalah ini sudah terjadi sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Berikut ini adalah kisah historis terkait dengan lahan di Shila Sawangan Depok.

Kisah dan Sejarah Kepemilikan Tanah

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada zaman kolonial Belanda,  setiap jengkal tanah dikuasai oleh pihak penjajah. Demikian juga yang terjadi di daerah Sawangan Bogor. Sebelum berlakunya Undang Undang Pokok Agraria tahun 1960, hak kepemilikan atas tanah sesuai hukum adat, di antaranya adalah ‘verponding‘. Status tanah verponding atau Eigendom verponding, dahulu adalah sebuah dokumen yang emenunjukkan hak atas tanah warisan dari zaman kolonial Belanda. Verponding ini semacam pungutan pajak khususnya atas tanah peninggalan Belanda.

Tanah milik orang Belanda

Dahulu, ada seorang Belanda yang bernama WL Samuel de Meyyer dari keluarga Gerald Tugo Faber, tercatat sebagai pemilik hak atas tanah Verponding No. 299 Afschrift IF WL, dengan luas 899.540 m2 yang berada di Sawangan Depok.

Keputusan KINAG 1963

Terkait dengan program Landreform, maka pada tahun 1963 – 1964, pemerintah Indonesia yang kala itu diwakili oleh Kepala Inpeksi Agraria, mengambil alih tanah seluas hampir 90 Ha tersebut melalui Surat Keputusan SK KINAG No.205 D/VIII-54 tanggal 31 Desember 1964, SK KINAG No. 11/VIII-54/62 tanggal 11 Juni 1963 dan SK KINAG No. 44A/l!I/lnsp/C-54/64 tanggal 14 September 1964. Sehingga dengan demikian tanah ini sudah dikuasai kembali oleh negara.

Pembebasan tanah 1965

Setelah diterbitkannya SK KINAG tersebut, yaitu pada tahun 1965,  Induk Koperasi Angkatan Udara Inkopau-Pukadara ingin melakukan pembebasan tanah di wilayah tersebut. Dalam rangka pembebasan tanah ini, Mayor Udara S. Kardono dan M.A. Hendro selaku Direksi Industri Kayu Pukadara Tri Daya (Unit Usaha Inkopau-Pukadara) melakukan kerjasama dengan R. Garmadi Kartawijaya (Direktur CV Pagar Jaya) dan juga memberi kuasa kepada Mustofa (Mantri Polisi Kecamatan Sawangan), juga dibantu oleh M. Tohir yang merupakan mantan Camat Kecamatan Sawangan.

Untuk diketahui, Mayor Kardono yang kemudian naik pangkat menjadi Marsekal Madya ini,  dulu dikenal sebagai orang dekat Presiden Soeharto. Tujuan awal pembebasan tanah tersebut adalah untuk digunakan sebagai Tanah Kavling Departemen Perhubungan (Pukadara).

baca juga : Kasus Shila Sawangan Bermasalah

Sengketa saat Pembebasan lahan 1967

Lahan yang sekarang ini merupakan kawasan pemukiman Shila At Sawangan, pada tahun 1967 sudah terjadi kasus sengketa, bukan soal kepemilikan namun terkait dengan pembebasan lahan kala itu.  Sengketa yang terjadi antara Inkopau-Pukadara melawan Garmadi Kartawijaya.

Garmadi Kartawijaya kala itu mengajukan gugatan kepada Mayor Udara S. Kardono dan M.A. Hendro hingga sampai pada tingkat Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hasil Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 554 K/Sip/1973 tanggal 17 September 1973 dimenangkan oleh Mayor Udara S. Kardono dan M.A. Hendro (Inkopau-Pukadara) dan atas lahan tersebut menjadi milik Inkopau-Pukadara.

Tanah Terbengkalai sejak  1968  s/d 1972

Setelah putusan MA tersebut, lahan tersebut tidak langsung dikelola dengan baik dan terbengkalai. Karena tidak ada pengawasan maka masyarakat sekitar kemudian memanfaatkannya sebagai tanah garapan tanpa sepengetahuan pihak Inkopau, bahkan ada sebagian yang sudah diperjualbelikan tanpa izin dan sudah bersertifikat antara lain atas nama Ir. Soejoko. Hal ini menimbulkan masalah lagi.

Baca juga :  Bagaimana Menghadapi Kasus Hukum Sengketa Tanah

Pihak Inkopau-Pukadara berusaha bertemu dengan Pemilik Sertifikat tetapi tidak ada kesepakatan. Oleh sebab itu, pihak  Inkopau-Pukadara kemudian menempuh jalur hukum. Jadi, memang sejarah  lahan di Shila Sawangan ini penuh dengan kasus hukum yang carut marut sejak dulu.

Hak Pakai pada 1973

Kepemilikan atas tanah Shila Sawangan adalah bekas obyek SK KINAG  oleh Major Udara S. Kardono dan M. A. Hendro  tersebut telah dikuatkan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Djakarta No. 304/67 tanggal 21 Agustus 1968 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 110/Pdt/1970/PT.DKI tanggal 3 Maret 1971  Jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 554 K/Sip/1973 tanggal 17 September 1973.

Kemudian berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut oleh M. A. Hendro dilepaskan haknya kepada Ida Farida berdasarkan Surat pelepasan hak atas tanah garapan tanggal 17 Maret 2007 antara M. A. Hendro dan Ida Farida.

Berdasarkan bukti tersebut, Ida Farida ‘mengklaim’ sebagai pemegang hak milik atas tanah berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 17 September 1973 nomor: 554/Sip/1973.  Status tanah tersebut kemudian menjadi Hak Pakai atas nama Ida Farida yang berlaku selama 20 tahun dan berakhir 2005.

Pada tahun 1973,  Ida Farida sempat membuat perjanjian pemanfaatan lahan dengan PT PAKUAN dalam rangka pembuatan lapangan Golf Sawangan.

lapangan golf sawangan
Lapangan golf Sawangan

Perjanjian Pengelolaan Lahan 

Pada tahun 1973, Ida Farida sebegai pemegang hak sewa pakai tanah membuat perjanjian dengan PT Pakuan terkait pengelolaan lahan yang akan digunakan sebagai lapangan Golf Sawangan. Perjanjian ini dengan jangka waktu sampai 1985 dan kemudian diperpanjang s/d 2005.

Jadi, sejak tahun 1973 pihak PT Pakuan sudah mulai membangun semua fasilitas untuk kepentingan bisnis nya yang mana lapangan Golf ini cukup terkenal dikalangan para golfer sebagai lapangan golf tertua kedua di Jabodetabek.

Shila at Sawangan
Perumahan elit Shila at Sawangan

Fakta Hukum dan Kronologi Sidang Sengketa Tanah

Berikut ini adalah kronologi kasus hukum sengketa tanah Shila Sawangan melalui proses persidangan di pengadilan ;

1. Tahun 2003

Latar belakang peristiwa ini adalah ketika perjanjian dengan PT Pakuan terkait pengeloaan lahan untuk bisnis lapangan Golf akan jatuh tempo pada tahun 2005, namun 2 tahun sebelumnya Ida Farida mengambil keputusan untuk tidak memperpanjang kerjasama. Hal ini tentu saja menjadi persoalan besar bagi pihak PT Pakuan, yang telah lama menjalankan bisnis lapangan Golf nya.

Oleh karena tidak ada kesepakatan dari kedua belah pihak, maka Ida Farida mengajukan gugatan hukum terkait kepemilikan lahan, melalui Pengadilan Negeri Cibinong  dengan no. register perkara  : 173/Pdt.G/2003/PN.Cbn, tertanggal 11 Agustus 2003.  Inilah awal dari kasus sengketa lahan di Shila At Sawangan. Sejak saat itu, isu ‘Shila Sawangan Bermasalah‘ mulai merebak.

Namun fakta hukum menunjukkan bahwa dalam perkara ini,  sesungguhnya telah selesai melalui Majelis Hakim perkara ini dengan amar putusan :

MENGADILI

– Menyatakan Eksepsi Tergugat dan para Tergugat tidak dapat diterima;
– Menolak gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
– Menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 629.000,-

Atas putusan Pengadilan Negeri Cibinong ini,  Ida Farida tidak mengajukan banding padahal kala itu masih tersedia upaya hukum lanjutan yang bisa ditempuh. Akibatnya, putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau in kracht van gewijsde.

Patut dicatat, bahwa putusan inkracht ini adalah putusan hukum final sehingga memiliki kekuatan hukum tetap.

Ida Farida
Ida Farida, si Ratu Gugat..

2. Tahun 2006

Tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 2006, Ida Farida mengajukan gugatan lagi kepada PT PAKUAN untuk obyek sengketa yang sama, tetap melalui Pengadilan Negeri Cibinong,

Kala itu Ida Farida menyampaikan bukti sertipikat hak pakai atas tanah di Shila Sawangan. Pihak tergugat dhi. PT Pakuan ternyata juga memiliki bukti kepemilikan HGB atas tanah di Shila Sawangan tersebut.

Perkara ini kemudian memperoleh putusan nomor : 340/Pdt.G/2005/PN.Cbn, tertanggal 19 Juni 2006 sebagai berikut

MENGADILI

Dalam Eksepsi :

– Menolak Eksepsi Tergugat I dan Tergugat II untuk seluruhnya;

Dalam pokok perkara :

– Menyatakan bahwa gugatan Penggugat adalah Ne Bis In Idem;
– Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat di terima (Niet ontvakelijke
verklaard);

Dalam Rekonpensi :

– Menyatakan Gugatan Rekonpensi tidak dapat diterima;

Dalam Konpensi dan Rekonpensi :

– Menghukum Penggugat konpensi untuk membayar biaya perkara yang
timbul sebesar Rp. 739.000(tujuh ratus tiga puluh Sembilan ribu rupiah);

Untuk kedua kalinya, gugatan Ida Farida juga ditolak oleh majelis hakim  sebab ini adalah perkara sengketa tanah Shila Sawangan dengan obyek yang sama dengan yang pernah diajukan sebelumnya atau Ne Bis In Idem yang mana telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht).

Baca juga :  Sejarah Program Landreform di Indonesia

3. Tahun 2011 – 2014

Meski megalami kekalahan pada perkara sengketa Shila Sawangan sebelumnya di PN Cibinong, Ida Farida tak mau menyerah. Pada tahun 2011, Ida Farida kembali mencoba masuk melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung, yaitu mengajukan gugatan terkait sertipikat HGB atas nama PT Pakuan tersebut yang dianggapnya melawan hukum. Upaya hukum ini terus dilakukan hingga sampai ke tingkat Kasasi Mahkamah Agung.

Untuk kali ini, gugatan Ida Farida diterima oleh pengadilan  sesuai putusan dari Majelis Hakim sesuai putusan No: 61/G/2011/PTUN-BDG, tertanggal 10 Pebruari 2011. Majelis hakim mengambil keputusan yaitu menyatakan batal terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan yaitu 9 sertipikat HGB atas nama PT Pakuan.

Dengan demikian  pada obyek sengketa Shila Sawangan kembali dikuasai oleh negara atau status quo. Dengan adanya fakta hukum ini, sempat membuat isu ‘Shila Sawangan bermasalah’ kembali santer dibicarakan oleh msayarakat properti.

Namun demikian, atas putusan ini, pihak PT PAKUAN tak tinggal diam dan mengajukan upaya hukum yaitu pada tingkat banding melalui PTUN Jakarta dan sesuai dengan putusan banding bernomor 108/B/2012/PT.TUN.JKT Majelis Hakim kala itu menyatakan bahwa gugatan Ida Farida tidak dapat diterima karena kasusnya telah
kadaluarsa, Ne Bis In Idem.

Kemudian Ida Farida mengajukan kasasi melalui Mahkamah Agung  pada tahun 2012 dan sesuai putusan kasasi no. 480/K/TUN/2012, majelis hakim kasasi menguatkan putusan PTUN Jakarta, yaitu bahwa perkara ini menyangkut obyek yang sama dan pernah digugat di Pengadilan Negeri Cibinong pada tahun 2003.

Ida Farida merasa tidak puas dan mengajukan Peninjauan Kembali (PK)  dengan membawa novum (bukti) baru yaitu berupa Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan dan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Hak Atas Tanah Negara.

Namun demikian, meski melampirkan novum  baru pada tingkat PK di Mahkamah Agung ini, permohonan Ida
Farida tidak dapat diterima atau ditolak sesuai putusan nomor 17/PK/TUN/2014.

Sesungguhnya, sejak adanya fakta hukum ini maka hak kepemilikan atas lahan di Shila Sawangan dikuasai oleh PT Pakuan Tbk.

ptun bandung sidang sengketa tanah depok

Suasana Sidang di PTUN Bandung dalam perkara sengketa lahan Sawangan Depok

4. Tahun 2017

Kasus Shila Sawangan Bermasalah masih tetap bergulir. Pada tahun 2017, Ida Farida lagi-lagi mengajukan surat gugatan kepada PT PAKUAN untuk kesekian kalinya. Pada gugatannya kali yang tercatat dengan no register PN Depok Nomor : 127/PDT.G/2017/PN.Dpk tanggal 6 Desember 2017, ybs masih mempermasalahkan obyek sengketa yang sama, yaitu lahan yang ditempati Shila At Sawangan Depok, namun disertai permohonan kepada majelis hakim meletakan Sita Jaminan (Conservatoir beslaag) atas lahan obyek gugatan tersebut

Perkara ini kemudian diputus oleh majelis hakim sbb :

M E N G A D I L I

DALAM EKSEPSI :
– Menolak eksepsi dari Tergugat untuk seluruhnya;

DALAM POKOK PERKARA :
1. Menyatakan gugatan Penggugat adalah Ne Bis In Idem;
2. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
3. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
2.881.000,- (dua juta delapan ratus delapan puluh satu ribu rupiah);

5. Tahun 2022

Fakta hukum terbaru dari kasus Shila Sawangan Bermasalah adalah pada tahun 2022 yaitu dengan terbitnya Surat Pemberitahuan Amar Kasasi Perkara Nomor: 519 K/TUN/2022/ Jo. No. 81/B/2022/PT.TUN.JKT Jo. No. 101/G/2021/PTUN.BDG. Pada surat ini dengan jelas tercantum penolakan atas permhonan kasasi dari pihak Ida Farida. Dengan demikian perkara ini dimenangkan PT Pakuan Tbk.

Kepastian Hukum terkait Isu Shila Sawangan Bermasalah 

Dengan terbitnya surat tersebut, maka  selesai sudah kasus sengketa lahan Shila Sawangan antara Ida Farida dan PT Pakuan, yang dimenangkan oleh PT PAKUAN Tbk. Dengan adanya kepastian hukum ini, tentu membuat lega masyarakat khususnya warga yang tinggal di perumahan Shila At Sawangan dan juga calon investor.

Isu ‘Shila Sawangan Bermasalah‘ dengan ini telah berakhir dan tak ada lagi keraguan atas status kepemilikan tanah di Shila Sawangan Depok.

Mengenai informasi lebih lanjut tentang Perumahan Shila at Sawangan, kunjungi situs resmi  https://shila.co.id/

baca juga : Investasi Properti di Shila At Sawangan Depok

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.