Terminal Terboyo di Semarang bukan sekadar tempat naik-turun penumpang. Di balik bangunan yang kini sepi dan usang, tersimpan cerita kejayaan masa lalu, ketika Terminal Terboyo menjadi salah satu simpul transportasi paling penting di Pulau Jawa, khususnya di era Orde Baru.
Pusat Transportasi Terbesar di Semarang
Terminal Terboyo mulai beroperasi pada akhir 1980-an dan langsung mencuri perhatian karena letaknya yang strategis di sisi timur Kota Semarang, dekat dengan jalur Pantura dan pelabuhan. Pada masa itu, Semarang sedang gencar membangun infrastruktur kota, dan Terboyo dirancang sebagai terminal induk untuk semua angkutan antarkota antarprovinsi (AKAP), antarkota dalam provinsi (AKDP), serta angkutan kota.
Di puncak kejayaannya, menjadi denyut nadi transportasi Jawa Tengah. Ratusan bus masuk dan keluar setiap hari. Dari sinilah bus-bus menuju Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan kota-kota besar lainnya memulai perjalanan panjangnya. Bagi banyak orang, Terboyo bukan hanya terminal — tapi juga titik awal petualangan.
Denyut Ekonomi dan Sosial
Terminal Terboyo bukan hanya tempat persinggahan kendaraan, tetapi juga kawasan hidup dengan aktivitas ekonomi yang menggeliat. Pedagang asongan, warung makan, montir, porter, hingga pengamen menjadi bagian dari ekosistem terminal. Kehadiran mereka menciptakan semacam simbiosis sosial yang khas, seperti terminal besar di masa lalu.
Lebih dari itu, Terboyo juga menjadi saksi banyak kisah urban — dari pekerja migran yang mencari peruntungan di Jakarta, mahasiswa yang kembali ke kampusnya, hingga kisah cinta yang berawal atau berakhir disini.
Alasan dan Permasalahan yang Menyebabkan Alihfungsi
Terminal yang dulunya merupakan simpul transportasi utama di Kota Semarang, secara bertahap mengalami alih fungsi dan kehilangan statusnya sebagai induk. Beberapa alasan dan permasalahan utama yang mendorong perubahan ini bisa dilihat dari aspek fisik, sosial, ekonomi, dan kebijakan.
1. Kemunduran Fasilitas dan Infrastruktur
Salah satu permasalahan paling mencolok adalah penurunan kualitas infrastruktur terminal. Bangunan-bangunan semakin menua tanpa perawatan signifikan. Atap bocor, jalan rusak, serta sanitasi yang buruk membuat kenyamanan penumpang menurun drastis. Kondisi ini diperparah oleh minimnya perbaikan dari pihak pengelola selama bertahun-tahun.
2. Timbulnya Terminal Bayangan dan Travel Gelap
Mulai akhir 1990-an hingga awal 2000-an, muncul fenomena terminal bayangan dan layanan travel gelap. Banyak penumpang memilih naik kendaraan dari titik-titik alternatif yang dianggap lebih mudah dijangkau dan fleksibel — seperti pinggir jalan atau kantor agen. Akibatnya, volume penumpang resmi di Terboyo menurun drastis. Operator bus pun memilih “mengalah” dan melayani dari luar terminal.
3. Pertumbuhan Transportasi Pribadi dan Online
Dengan meningkatnya ekonomi masyarakat dan akses yang lebih mudah ke kendaraan pribadi, banyak orang beralih dari angkutan umum ke mobil pribadi atau sepeda motor. Selain itu, hadirnya transportasi berbasis aplikasi seperti ojek dan taksi online semakin menggerus peran terminal sebagai simpul transportasi umum tradisional.
4. Pergeseran Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah kota dan pusat dalam hal redistribusi trayek dan pengelolaan terminal juga turut berperan dan sempat menjadi terminal tipe A, yang dikelola oleh pemerintah pusat. Namun dengan dibangunnya Terminal Mangkang di sisi barat kota yang lebih dekat ke jalur keluar-masuk kendaraan antarprovinsi, banyak trayek AKAP dipindahkan ke sana.
Tujuannya adalah mengurangi kepadatan lalu lintas dalam kota, sekaligus merelokasi pusat kegiatan transportasi ke titik yang lebih logis secara tata kota. Terminal Terboyo kemudian mulai difokuskan untuk angkutan dalam kota dan provinsi, namun peralihan ini tak diikuti dengan revitalisasi menyeluruh.
5. Masalah Sosial dan Keamanan
Kondisi Terminal Terboyo yang makin sepi membawa dampak sosial. Munculnya premanisme, aktivitas informal yang tak terkendali, serta ketidakamanan membuatnya semakin dijauhi oleh masyarakat. Banyak pengguna jasa transportasi merasa tidak aman atau nyaman saat berada di area terminal, terutama pada malam hari.
Alihfungsinya Terminal bukanlah kejadian tiba-tiba, melainkan akibat dari serangkaian faktor yang saling berkaitan: mulai dari kemunduran infrastruktur, persaingan dengan moda transportasi modern, hingga kebijakan tata kota yang bergeser. Meski kehilangan fungsinya sebagai terminal induk, Terboyo tetap menjadi simbol penting sejarah transportasi Semarang dan bisa dihidupkan kembali dengan fungsi baru, seperti sentra UMKM, ruang publik, atau situs heritage perkotaan.
Kemunduran di Era Reformasi
Namun, seiring berjalannya waktu, kejayaannya mulai pudar. Reformasi membawa desentralisasi dan kebijakan transportasi mulai bergeser. Meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi, maraknya travel gelap, serta bertumbuhnya terminal bayangan membuat Terboyo kehilangan pamor.
Pemerintah kota pun lambat laun mengurangi perhatian terhadap Terboyo. Beberapa trayek dipindahkan, perawatan terminal menurun, dan fasilitas mulai rusak tanpa perbaikan. Pada 2018, sebagian besar operasional Terminal secara resmi dipindahkan ke Terminal Mangkang yang lebih modern dan berada di sisi barat kota.
Sisa-Sisa Kejayaan
Kini, Terboyo lebih sering terlihat lengang. Hanya beberapa bus dan angkutan kota yang masih singgah. Bangunan-bangunan tua dan lapak-lapak kosong menjadi saksi bisu masa keemasan yang telah berlalu.
Namun demikian, bagi mereka yang pernah merasakan hiruk pikuknya, Terminal Terboyo tetap hidup dalam ingatan. Ia adalah simbol sebuah zaman — era ketika moda transportasi umum menjadi tulang punggung mobilitas rakyat, dan terminal-terminal besar seperti Terboyo memainkan peran vital dalam menyatukan kota-kota Indonesia.
Penutup
Legenda Terminal Terboyo adalah potret bagaimana infrastruktur dan dinamika kota berubah seiring zaman. Kejayaannya di masa Orde Baru menyimpan pelajaran penting: bahwa kemajuan tidak hanya soal membangun yang baru, tetapi juga tentang merawat sejarah yang sudah ada. Mungkin, suatu saat nanti, Terboyo bisa bangkit kembali — bukan sebagai terminal utama, tetapi sebagai situs warisan urban yang menghidupkan memori kolektif masyarakat Semarang.